Larangan terhadap akad tawarruq oleh Dewan Syari'ah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia didasarkan pada beberapa alasan:
1. Mengikuti keputusan Islamic Fiqh Academy Jeddah ke-17 yang melarang praktek tawarruq munadzzam yang diterapkan di beberapa bank syari'ah karena hanya berfungsi sebagai transaksi di atas kertas untuk mendapatkan uang tunai.
2. Salah satu syarat mu'amalah adalah adanya transparansi dan bebas dari unsur penipuan (gharar) atau syubhat.
3. Akad tawarruq dianggap lebih banyak merugikan daripada menguntungkan dari sudut pandang kepentingan umum.
Namun, Indonesia dan Malaysia masih harus bekerja keras agar perbankan syari'ah sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Malaysia memasukkan akad tawarruq dalam produk perbankan syari'ahnya karena kebutuhan mendesak. Akad ini membantu bank-bank Islam yang terbatas dalam hal likuiditas saat dibutuhkan. Oleh karena itu, Malaysia memperbolehkan akad tawarruq dengan dasar bahwa semua transaksi jual beli sah kecuali dilarang oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits, dan tidak ada dalil yang tegas melarang akad tersebut.
Meskipun akad tawarruq belum diperbolehkan sebagai produk perbankan syari'ah di Indonesia, akad serupa diizinkan dan diterapkan dalam transaksi perdagangan komoditi di bursa sesuai dengan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Nomor 82 Tahun 2011 tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syari'ah di Bursa Komoditi.Â
Fatwa ini menyatakan bahwa perdagangan komoditi di bursa, baik dalam bentuk serah terima fisik maupun perdagangan lanjutan, diperbolehkan asalkan memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Perdagangan serah terima fisik berarti adanya serah terima komoditas oleh pembeli, sementara perdagangan lanjutan melibatkan penjualan komoditas yang telah dibeli oleh pihak pertama kepada pihak ketiga melalui perantara pihak kedua.
Di Timur Tengah, negara-negara telah lama menggunakan akad tawarruq pada bursa komoditi syariah. Dalam skema ini, bank yang memiliki kelebihan dana menerima pesanan dari bank yang kekurangan dana untuk membeli barang, sehingga bank yang memiliki kelebihan dana kemudian membeli komoditas dari pasar dengan uang tunai melalui akad jual beli, lalu menjualnya kepada bank yang kekurangan dana dengan cara murabahah dengan sistem pembayaran cicilan. Bank yang kekurangan dana kemudian akan menjual aset ini ke pasar komoditas untuk mendapatkan uang tunai. Akad tawarruq yang umum dikenal dalam industri perbankan Timur Tengah tidak hanya digunakan untuk pengelolaan likuiditas, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan konsumtif individu.
Namun, konsep tawarruq munadzam ini sangat berbeda dengan konsep transaksi komoditas murabahah syariah yang ada di Indonesia, karena:
- Â Transparansi dalam transaksi terjamin, di mana aset/komoditas yang diperdagangkan dapat secara jelas dilihat, dimiliki, dan dikirim.
- Aset/komoditas yang diperdagangkan kembali dilakukan melalui otoritas bursa bukan melalui bank syariah perantara.
- Â Bank syariah perantara hanya bertindak sebagai pembeli aset/komoditas yang kemudian dijual kepada pihak atau bank syariah lain yang membutuhkan likuiditas menggunakan akad murabahah murni.
Jika prosedur transaksi tawarruq dalam perbankan syariah Indonesia dapat diselenggarakan mirip dengan yang berlaku di negara-negara Timur Tengah, maka akan terlihat bahwa akad tawarruq tersebut tidak sama dengan akad 'inah yang dilarang dalam syariah. Hal ini lebih penting lagi jika penerapan akad tawarruq tersebut menjadi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan likuiditas perbankan syariah di Indonesia yang masih berkembang pesat.
Apakah tawarruq dapat diterapkan di Indonesia atau tidak akan tergantung pada kebijaksanaan dan persetujuan Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syari'ah Nasional dalam mengeluarkan fatwa terkait hal ini. Akad tawarruq pada dasarnya tidak sepenuhnya dianggap makruh atau haram. Ada konsep tawarruq, terutama yang menjadi dasar bagi negara-negara Timur Tengah, yang seharusnya diperbolehkan untuk diterapkan, terutama dalam situasi kebutuhan mendesak dari nasabah atau perbankan syariah yang mengalami defisit.Â