Syariat Islam, sebagai ajaran yang disampaikan oleh Nabi terakhir, memiliki ciri khas tersendiri. Syariat ini tidak hanya komprehensif, tetapi juga bersifat universal. Ketika kita berbicara tentang komprehensif, kita merujuk pada kemampuan syariat Islam untuk mencakup segala aspek kehidupan, baik yang bersifat ritual (ibadah) maupun yang bersifat sosial (muamalah). Dalam konteks muamalah, Islam telah menetapkan pedoman yang jelas.Â
Contoh yang paling nyata adalah dalam transaksi bisnis. Transaksi bisnis, sebagai bagian dari muamalah, merupakan bentuk kerja sama yang mengatur aspek-aspek dunia ini dan harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Untuk hal ini, diperlukan pertimbangan rasional yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Salah satu contoh konkret dari kerja sama dalam muamalah adalah kerjasama antara pemilik modal dan pekerja, yang didasarkan pada prinsip bagi hasil, yang bertujuan untuk saling bahu-membahu dalam mencapai kesuksesan (Hasan, 2003: 18).
Konsep kerja sama antara pemilik modal dan pekerja dalam upaya mencapai keuntungan dalam konteks ekonomi Islam dikenal sebagai mudharabah. Konsep ini telah ada sejak sebelum masa kenabian, dan bahkan selama masa Rasulullah, praktik mudharabah telah diberikan legitimasi.Â
Meskipun telah mengalami sedikit modifikasi, mudharabah masih tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat hingga saat ini. Di dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS), mudharabah sering kali menjadi produk unggulan yang ditawarkan kepada nasabah.Â
Dengan semakin banyaknya LKS yang menawarkan mudharabah, MUI sebagai lembaga yang berwenang dalam mengeluarkan fatwa terkait ekonomi Islam melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), dianggap perlu untuk mengeluarkan fatwa khusus tentang mudharabah, sehingga tata cara pelaksanaannya dapat sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam.
Secara teknis, mudharabah merupakan bentuk kerja sama di mana satu pihak (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), sementara pihak lainnya bertindak sebagai pengelola. Keuntungan dari usaha yang dilakukan dibagi berdasarkan kesepakatan yang tercantum dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal asalkan kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola. Namun, jika kerugian terjadi karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Asy-Syarbasyi, 2001:95).
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam yang memberikan jawaban dan solusi terhadap masalah yang dihadapi umat. Umat Islam umumnya mengacu pada fatwa dalam mengatur sikap dan perilaku mereka. Dalam konteks ekonomi Syariah, fatwa memiliki peran penting dan menjadi bagian integral dalam strukturnya. Fatwa juga berperan sebagai penanda kemajuan ekonomi Syariah di Indonesia. Secara teknis, fatwa ekonomi Syariah memberikan model pengembangan dan pembaharuan dalam fikih muamalah maliyah (Sula dan Mufti, 221).Â
Secara fungsional, fatwa memiliki dua fungsi utama, yaitu tabyin (penjelasan) yang mengatur regulasi praktis bagi lembaga keuangan, terutama yang berkaitan dengan praktik ekonomi Syariah, dan tawjih (petunjuk) yang memberikan panduan dan pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi Syariah (Sula dan Mufti, 221).
Secara keseluruhan, fatwa DSN tentang mudharabah terlihat baik dalam hal rukun dan syarat-syaratnya yang sesuai dengan ajaran fikih muamalah. Namun, melihat bahwa dalam pembuatan fatwa ini dan beberapa fatwa terkait mudharabah lainnya, kaidah yang digunakan cenderung umum, kurang spesifik, atau tidak cukup mendekati permasalahan yang sebenarnya.Â
Selain itu, fatwa ini tampaknya hanya menjelaskan konsep penyaluran mudharabah dari LKS kepada nasabah atau mudharib, tanpa memberikan gambaran komprehensif tentang konsep mudharabah secara keseluruhan. Dalam ketentuan pembiayaan yang disebutkan dalam fatwa DSN tersebut, disebutkan bahwa: "Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif."Â
Dalam konteks ini, sebenarnya status bank adalah sebagai shahibul maal, sementara pihak lain atau mudharib adalah pihak nasabah. Perlu dicatat bahwa bank syariah dalam penghimpunan dana umumnya menggunakan dua akad, yaitu akad wadi'ah (titipan) dan akad mudharabah (bagi hasil).Â
Jadi, ketika bank Syariah menggunakan akad mudharabah dalam penghimpunan dana, bank tersebut berperan sebagai mudharib atau penerima dana yang akan mengelolanya untuk usaha, sementara nasabah tabungan menjadi shahibul maal karena memberikan dana kepada bank untuk dikelola.
Dalam konteks ini, bank sebagai penerima dana (mudharib), seharusnya menggunakan dana dari penyimpan (shahibul maal) untuk kegiatan usaha. Namun, dalam praktiknya, ketika bank menyalurkan dana, bank juga menggunakan akad mudharabah dengan nasabah lain yang membutuhkan dana untuk usaha mereka.
Dengan demikian, posisi bank berubah menjadi shahibul maal, sementara nasabah peminjam dana menjadi mudharib. Hal ini menunjukkan bahwa bank pada saat yang bersamaan dapat berperan sebagai mudharib ketika menyalurkan dana meskipun pada awalnya berperan sebagai shahibul maal saat melakukan penghimpunan dana.Â
Namun, fatwa DSN tidak membahas situasi seperti ini karena bank syariah sebagai lembaga keuangan tidak memiliki identitas personal. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan mengenai status bank dalam transaksi mudharabah ini, karena pada awalnya bank berperan sebagai mudharib namun kemudian melakukan mudharabah dengan pihak lain.Â
Dalam realitas perbankan syariah, bank sebenarnya berperan sebagai perantara antara penyimpan dana dan pihak yang membutuhkan dana untuk usaha. Dalam fikih muamalah, terdapat beberapa pandangan terkait tindakan mudharib yang melakukan mudharabah lain. Menurut ulama Hanafiyyah, mudharib tidak boleh melakukan mudharabah dengan modalnya pada orang lain, kecuali jika pemilik modal memberikan kuasa kepadanya.Â
Pendapat lain dari ulama Malikiyyah menyatakan bahwa jika mudharib melakukan mudharabah lain, ia wajib menjamin modal jika ia melakukan mudharabah lagi atas modal mudharabah pertama. Namun, keuntungan dari mudharabah kedua ini diberikan kepada mudharib kedua dan pemilik modal, sedangkan mudharib pertama tidak mendapatkan bagian dari keuntungan tersebut. Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa mudharib tidak boleh melakukan mudharabah dengan orang lain untuk berbagi dalam pekerjaan dan keuntungan meskipun dengan izin pemilik modal.Â
Untuk mengantisipasi situasi seperti ini, sebaiknya bank memiliki bentuk usaha sendiri. Selama ini bank hanya memutar dana dari satu nasabah ke nasabah lain tanpa melakukan kegiatan usaha sendiri. Selama bank tidak memiliki usaha sendiri, bank akan terus berperan sebagai perantara dalam sistem perekonomian.Â
Dalam akad mudharabah, pada dasarnya tidak memerlukan jaminan dari mudharib karena mudharib tidak bertanggung jawab atas kerugian selama tidak ada kesengajaan. Namun, dalam fatwa DSN tentang mudharabah, DSN memfatwakan bahwa LKS dapat meminta jaminan kepada mudharib sebagai langkah antisipasi jika terjadi kerugian yang disengaja. Dalam fatwa ini, terlihat bahwa konstruksi fatwanya cenderung menggunakan kaidah ushul fikih yang umum, seperti kaidah "la dharoro wa la diror". Hal ini menunjukkan bahwa fatwa DSN cenderung longgar, padahal dalam konsep darurat pun masih ada batasan-batasan yang harus dipatuhi.
Dari analisis beberapa fatwa terkait mudharabah, dapat disimpulkan bahwa secara umum bahwa fatwa-fatwa tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang telah mapan. Namun, dalam aspek legalitas, konstruksi hukum yang digunakan masih bersifat umum terutama dalam penggunaan kaidah ushul fikih. Bahkan beberapa fatwa menunjukkan kecenderungan yang sama dalam pendekatannya meskipun isinya berbeda. Namun, dalam implementasinya, LKS belum sepenuhnya mengadopsi fatwa ini. Terlihat adanya keengganan dalam penerapan dan cenderung hanya mematuhi formalitas, seperti dalam hal jaminan. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
ReferensiÂ
Afandi, S., Renaldi, R., & Furqon Baihaki, A. (2024). Analisis Fatwa Dsn Mui No: 115/Dsn-Mui/Ix/2017 Tentang Akad Mudharabah Dalam Kegiatan Usaha Bersama. Madani Syariah, 7(1), 1--12. https://stai-binamadani.e-journal.id/madanisyariah
Mursid, F. (2020). Kajian Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Mudharabah. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 3(1), 107. https://doi.org/10.21043/tawazun.v3i1.7847
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H