Mohon tunggu...
rania annisa
rania annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Malang

Perbankan Syariah

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Penerapan Fatwa DSN MUI dalam Praktik Akad Mudharabah

10 Mei 2024   18:16 Diperbarui: 10 Mei 2024   19:21 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Jadi, ketika bank Syariah menggunakan akad mudharabah dalam penghimpunan dana, bank tersebut berperan sebagai mudharib atau penerima dana yang akan mengelolanya untuk usaha, sementara nasabah tabungan menjadi shahibul maal karena memberikan dana kepada bank untuk dikelola.

Dalam konteks ini, bank sebagai penerima dana (mudharib), seharusnya menggunakan dana dari penyimpan (shahibul maal) untuk kegiatan usaha. Namun, dalam praktiknya, ketika bank menyalurkan dana, bank juga menggunakan akad mudharabah dengan nasabah lain yang membutuhkan dana untuk usaha mereka.

Dengan demikian, posisi bank berubah menjadi shahibul maal, sementara nasabah peminjam dana menjadi mudharib. Hal ini menunjukkan bahwa bank pada saat yang bersamaan dapat berperan sebagai mudharib ketika menyalurkan dana meskipun pada awalnya berperan sebagai shahibul maal saat melakukan penghimpunan dana. 

Namun, fatwa DSN tidak membahas situasi seperti ini karena bank syariah sebagai lembaga keuangan tidak memiliki identitas personal. Hal ini menyebabkan ketidakjelasan mengenai status bank dalam transaksi mudharabah ini, karena pada awalnya bank berperan sebagai mudharib namun kemudian melakukan mudharabah dengan pihak lain. 

Dalam realitas perbankan syariah, bank sebenarnya berperan sebagai perantara antara penyimpan dana dan pihak yang membutuhkan dana untuk usaha. Dalam fikih muamalah, terdapat beberapa pandangan terkait tindakan mudharib yang melakukan mudharabah lain. Menurut ulama Hanafiyyah, mudharib tidak boleh melakukan mudharabah dengan modalnya pada orang lain, kecuali jika pemilik modal memberikan kuasa kepadanya. 

Pendapat lain dari ulama Malikiyyah menyatakan bahwa jika mudharib melakukan mudharabah lain, ia wajib menjamin modal jika ia melakukan mudharabah lagi atas modal mudharabah pertama. Namun, keuntungan dari mudharabah kedua ini diberikan kepada mudharib kedua dan pemilik modal, sedangkan mudharib pertama tidak mendapatkan bagian dari keuntungan tersebut. Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa mudharib tidak boleh melakukan mudharabah dengan orang lain untuk berbagi dalam pekerjaan dan keuntungan meskipun dengan izin pemilik modal. 

Untuk mengantisipasi situasi seperti ini, sebaiknya bank memiliki bentuk usaha sendiri. Selama ini bank hanya memutar dana dari satu nasabah ke nasabah lain tanpa melakukan kegiatan usaha sendiri. Selama bank tidak memiliki usaha sendiri, bank akan terus berperan sebagai perantara dalam sistem perekonomian. 

Dalam akad mudharabah, pada dasarnya tidak memerlukan jaminan dari mudharib karena mudharib tidak bertanggung jawab atas kerugian selama tidak ada kesengajaan. Namun, dalam fatwa DSN tentang mudharabah, DSN memfatwakan bahwa LKS dapat meminta jaminan kepada mudharib sebagai langkah antisipasi jika terjadi kerugian yang disengaja. Dalam fatwa ini, terlihat bahwa konstruksi fatwanya cenderung menggunakan kaidah ushul fikih yang umum, seperti kaidah "la dharoro wa la diror". Hal ini menunjukkan bahwa fatwa DSN cenderung longgar, padahal dalam konsep darurat pun masih ada batasan-batasan yang harus dipatuhi.

Dari analisis beberapa fatwa terkait mudharabah, dapat disimpulkan bahwa secara umum bahwa fatwa-fatwa tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam yang telah mapan. Namun, dalam aspek legalitas, konstruksi hukum yang digunakan masih bersifat umum terutama dalam penggunaan kaidah ushul fikih. Bahkan beberapa fatwa menunjukkan kecenderungan yang sama dalam pendekatannya meskipun isinya berbeda. Namun, dalam implementasinya, LKS belum sepenuhnya mengadopsi fatwa ini. Terlihat adanya keengganan dalam penerapan dan cenderung hanya mematuhi formalitas, seperti dalam hal jaminan.                                                     

Referensi 

Afandi, S., Renaldi, R., & Furqon Baihaki, A. (2024). Analisis Fatwa Dsn Mui No: 115/Dsn-Mui/Ix/2017 Tentang Akad Mudharabah Dalam Kegiatan Usaha Bersama. Madani Syariah, 7(1), 1--12. https://stai-binamadani.e-journal.id/madanisyariah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun