Dampak Neet
Mengutip dari Global Affairs, tingginya jumlah generasi muda yang tergolong NEET dapat memberikan efek yang merugikan bagi suatu negara. Salah satunya ialah pertama, berkurangnya jumlah pajak yang diterima. GenZi yang menganggur tidak bisa menyetor pajak penghasilan (PPh) karena mereka tidak punya pendapatan. Lagi lagi, Negara hanya memperhitungkan pajak dan tidak memperhatikan masa depan generasi.
Kedua, terhambatnya pertumbuhan ekonomi. GenZi yang tidak memiliki perkerjaan tidak akan berkontribusi dalam peningkatan konsumsi, penurunan konsumsi ini akan berdampak pada penurunan produksi. akibatnya, jumlah perusahaan yang melakukan ekspansi atau membuka usaha baru semakin berkurang sehingga melemahnya laju pertumbuhan ekonomi dari investasi.
Ketiga, berkurangnya jumlah tabungan masyarakat. Pemerintah mengatakan bahwa tabungan masyarakat (national savings) sangat penting sebagai sumber pendanaan pembangunan.
Keempat, menjadi beban masyarakat dan menyebabkan masalah sosial. GenZi yang menganggur memperberat tanggung jawab negara karena negara harus memberi bantuan sosial atau layanan kesehatan kepada mereka. Selain itu, masalah sosial juga bisa timbul seperti tunawisma atau pengemis. Dalam sistem kapitalisme, masyarakat selalu dinilai berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Oleh karena itu, angka pengangguran yang tinggi  di kalangan GenZi dianggap sebagai beban bagi negara.
Kelima, kondisi ini tampaknya mengancam keberhasilan Indonesia dalam meraih Indonesia Emas 2045.
Kelima dampak yang telah disebutkan di atas memperlihatkan kekhawatiran pemerintah mengenai tingginya jumlah pengangguran di kalangan GenZi yang berpotensi menyebabkan kemunduran ekonomi negara, bukan semata-mata peduli terhadap masa depan generasi yang akan terancam.
Masa Depan Generasi Terancam
Penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini mengizinkan perusahaan-perusahaan, baik lokal, swasta, maupun dalam negeri untuk menguasai dan mengelola SDA. Akibatnya, penyediaan lapangan kerja tergantung pada mekanisme pasar, sehingga tenaga kerja tidak akan terserap. Selain itu, penanaman modal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lebih fokus pada investasi padat modal dari pada padat karya, sehingga masyarakat kesulitan untuk memperoleh pekerjaan.
Meningkatnya pengangguran juga disebabkan oleh faktor kemalasan individu, kecacatan atau uzur, serta tingkat pendidikan yang rendah. Tenaga kerja Indonesia yang mereka berpendidikan rendah, yakni SD dan SMP mencapai sekitar 74 %. Pada akhirnya, publik menyadari bahwa tingginya angka pengangguran yang di kalangan GenZi adalah hasil dari penerapan sistem kapitalisme.
Lebih dari itu, saat ini ada polemik di tengah masyarat mengenai tingginya biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang membuat pendidikan tinggi sangat sulit diakses oleh anak bangsa. Harapan dan cita-cita anak bangsa terhambat oleh besarnya biaya UKT. Kampus yang mestinya menjadi tempat pendidikan yang dapat diakses oleh semua warga negara, kini hanya dapat diakses oleh orang yang berduit banyak.