Kehilangan hewan kesayangan sangatlah menyakitkan, sama halnya dengan kehilangan seseorang yang kita sayang.
Namaku Rani, seorang anak perempuan desa yang bercita-cita mengunjungi bunga sakura. Namun, tak mendapat restu orang tua. Aku tak akan bercerita mengapa sebab, sama halnya membuka luka lama.
Aku memanglah anak perempuan tapi, kerap kali bergaya ke-cowo-an, hobinya memancing. Memancing ikan ya, bukan memancing emosi. Aku juga suka bermain bola. Namun, entah sudah berapa lama aku tak menyentuh bola. Aku juga tak akan bercerita banyak tentang hobiku.
Ayahku sangat menyukai burung. Meski terkadang beliau enggan tuk mengurusnya. Mungkin beliau lelah dan tak memiliki celah untuk mengurus, sebab pekerjaannya yang menguras tenaga.
Tak terpungkiri, Om ku juga suka sekali merawat burung. Kala itu beliau datang ke Lampung, membawakan burung kenari untuk ayahku. Berwarna kuning, bersuara nyaring.
Kami menaruhnya di sebuah kandang yang cukup besar untuk ditinggalinya seorang diri. Kami letakkan di ruang televisi.Â
Sangking nyaringnya, sampai-sampai suara televisi kalah dengan suara kenari. Ssssstttt... kerap kali aku menyuruhnya diam. Ia tak kunjung diam juga. Mau bagaimana lagi, kami menonton tv tapi bersuara kenari. Keren, bukan tv-ku.
Aku sangat menyayanginya. Begitu pun dengan ibuku. Yah, hanya aku dan ibuku yang merawatnya. Kami merawat si kenari dengan sepenuh hati, layaknya merawat dedek bayi.Â
Pernah, beberapa bulan ia bungkam. Tanpa suara. Rumah kami menjadi hening. Apa yang terjadi, pikirku.
Kebetulan, aku mempunyai seorang teman lelaki. Ku anggap dia lebih dari sekadar teman. Kami begitu dekat tapi tidak pernah jadian. Ternyata, dia hanya menganggapku sebagai adik. Miris sekali bukan? Yasudah, tidak apa, jodoh di tangan Tuhan.
Si doi ini juga pecinta burung, ada burung prenjak, kenari, love bird, kutilang, bahkan burung gereja pun dipeliharanya.