Mohon tunggu...
Rania Wahyono
Rania Wahyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

Mencari guru sejati

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ada 9.9 Juta Gen Z Menganggur, Apa yang Salah?

7 Juni 2024   15:34 Diperbarui: 8 Juni 2024   20:45 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pencari kerja mempersiapkan berkas lamaran kerja dalam Mega Career Expo Jakarta di gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, Jumat (17/5/2024). (Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO)

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis  9.9 juta penduduk Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun yang biasa disebut generasi Z(Gen Z) menganggur atau masuk ke dalam kategori Not Employment, Education, or Training (NEET).

Data terbaru hasil survei angkatan kerja nasional BPS menyebutkan angkatan kerja per Februari 2024 mencapai 149,38 juta orang sementara itu tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,82% atau 7,20 juta orang. Sebanyak 16,82%-nya berusia 15 hingga 24 tahun

Cukup miris melihat kelompok usia muda yang mendominasi angka pengangguran di Indonesia. Bagaimana tidak, generasi muda yang disematkan dengan sebutan harapan bangsa menuju Indonesia Emas 2045 justru menjadi kelompok usia dengan angka pengangguran tertinggi. 

Generasi Z justru banyak yang masih menganggur bahkan tidak bersekolah ke jenjang pendidikan lanjutan lantaran UKT yang mahal. Mau cari uang dengan bekerja malah ujung-ujungnya tidak dapat kerja karena tidak memiliki gelar sarjana sebagai kualifikasi dasar. Ini bagaikan lingkaran setan.

Lantas apa yang salah di sini? Serapan pekerjaannya yang salah atau biaya kuliah yang semakin meningkat seiring dengan inflasi pendidikan sehingga banyak orang yang tak mampu melanjutkan pendidikan?

Karakter Gen Z yang Berbeda dengan Generasi Sebelumnya

Gen Z adalah orang-orang yang melek teknologi, mereka tumbuh di era digital dengan gadget sehingga banyak hal yang membuat mereka terbiasa dan tidak terbiasa jika dibandingkan dengan generasi di atas mereka. 

Sejak kecil sudah pegang gadget, dan mengalami perubahan tehnologi yang semakin cepat, platform yang berkembang pesat, internet yang semakin cepat serta konten sosial media yang semakin banyak.

Mereka lebih termotivasi oleh anak muda yang sudah jadi miliarder. Tidak heran bagaimana hebohnya fenomena Indra Kenz dengan robot trading, fenomena krypto dari  para bocil-bocil kripto yang ingin cepat kaya dengan cara instan. 

Mereka kadang berpikir buat apa kerja keras, ngapain jadi karyawan. Karena ada yang kerjanya joget-joget di Tiktok bisa kaya raya, posting foto di Instagram bisa jadi selegram dan influencer, bikin konten di YouTube digaji dollar dari Adsense seperti Atta Halilintar dan Jerome Polin yang menjadi role model mereka. Sehingga muncul keinginan dan cita-cita jadi youtuber, influencer, selegram atau jadi afiliator di marketplace.

Gen Z juga rentan terkena masalah kesehatan mental karena memiliki mental yang lebih rapuh, tak heran mereka juga sering disebut Generasi Strawberry yang memiliki kulit yang tipis dan lembek.

Atasan atau rekan kerjanya menegur dianggap toxic. Gen Z identik dengan penyakit mental sehingga harus healing. Uangnya sering habis buat healing yang membuat kepala pusing.

Beberapa orang merasa kesulitan menghadapi karyawan Gen Z karena banyak menuntut namun kerja dan kontribusinya sedikit. Satu argumen saja terjadi mereka akan berhenti bekerja, tidak ada kata loyality pada pekerjaan. Mereka seperti kutu loncat, memilih kerja yang fleksibel dan tidak mau ada tekanan.

Namun tidak semua Gen Z seperti itu, banyak sekali yang memiliki kriteria bagus. Mereka rata-rata fasih berbahasa asing(Inggris), idenya kreatif dan sangat mudah beradaptasi dengan perubahan terutama perkembangan tehnologi. Mereka ingin kenyamanan dan fleksibilitas karena ingin mencapai keseimbangan hidup dan kerja atau work life balance.

Susahnya GenZ Mendapat Pekerjaan

Beberapa waktu yang lalu beredar video viral membludaknya antrean pelamar kerja warung seblak di Ciamis. Warung seblak tersebut membuka lowongan secara walk in interview untuk 20 orang tenaga kerja namun yang datang melamar hingga 200an lebih pelamar yang didominasi oleh anak muda.

Video viral tersebut mengundang berbagai reaksi dari warganet yang menampilkan sebuah realita betapa sulitnya mencari pekerjaan dan tingginya angka pengangguran di kalangan generasi Z. Bahkan untuk jenis usaha seperti warung seblak yang dikategorikan UMKM dan pekerja sektor informal namun antrian pelamarnya seperti di perusahaan.

Angkatan pekerja muda atau Gen Z semakin menghadapi dilema karena biaya pendidikan di perguruan tinggi semakin mahal dengan adanya kenaikan UKT. Padahal mayoritas di Indonesia kuliah dan meraih gelar sarjana merupakan modal dan persyaratan utama untuk mendapatkan pekerjaan layak di sektor formal.

Banyak faktor disebut menjadi penyebab salah satunya ketidaksesuaian antara kebutuhan pasar dan pendidikan angkatan kerja baru serta keterampilan yang dimiliki Gen Z belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. 

Antara pendidikan di sekolah dengan lapangan pekerjaan berbeda. Bisa jadi juga setelah lulus ternyata sudah tidak relevan lagi karena adanya percepatan tehnologi seperti AI.

Pertumbuhan ekonomi pada sektor industri padat karya yang paling banyak menciptakan lapangan pekerjaan tumbuhnya lambat. Pertumbuhan yang tinggi adalah sektor industri padat modal yang penciptaan lapangan pekerjaannya lebih sedikit dan lebih spesifik.

Inilah yang juga menjadi faktor menurunnya lapangan pekerjaan di sektor formal sehingga banyak Gen Z yang menganggur. Terjadinya pelemahan industri padat karya sedangkan industri padat modal atau jasa tidak bisa banyak menyerap tenaga kerja walhasil terjadi perpindahan dari sektor formal ke informal.

*****

Banyaknya Gen Z yang menganggur menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Diperlukan upaya kolektif dari pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor swasta untuk mengatasinya.

Dengan menarik investor terutama di sektor padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Membuat program yang menghubungkan para lulusan dengan pasar tenaga kerja antara lain melalui sekolah vokasi yang siap kerja bila tidak sanggup melanjutkan ke jenjang universitas. 

Dengan pendekatan yang tepat, tantangan ini dapat diubah menjadi peluang untuk menciptakan tenaga kerja yang lebih siap dan adaptif terhadap perubahan zaman. Mau tidak mau, siap tidak siap mulai tahun ini seperempat pekerja dunia adalah Gen Z dan akan sampai puncaknya di tahun 2030-an. 

Referensi:

cnnindonesia.com

detik.com/edu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun