Mohon tunggu...
Rania Wahyono
Rania Wahyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

Mencari guru sejati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi Hardiknas 2024, Sistem Pendidikan Indonesia Masih Tertinggal di Bandingkan Negara Lain

2 Mei 2024   18:02 Diperbarui: 2 Mei 2024   19:14 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa yang sedang belajar. Foto:pexels.com/ROMAN ODINTSOV

Hari Pendidikan Nasional(Hardiknas) diperingati setiap tahun di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan diantaranya upacara bendera di sekolah. Peringatan Hardiknas setiap tahun tersebut menunjukkan pentingnya keberadaan sekolah dalam meraih pendidikan.

Namun apakah perayaan seremonial setiap tahun tersebut telah memberikan peningkatan pada kualitas sumber daya manusia dan kualitas pendidikan di Indonesia? Bila di bandingkan dengan negara lain, sistem pendidikan masih mengalami banyak masalah dan tertinggal.

Data PISA 2022 Indonesia Masih Berada pada Peringkat Bawah 

Tahun 2022 sekitar 273 juta penduduk Indonesia dengan sekitar 52 juta siswa dan 3 juta guru serta 217.000 sekolah. Data tersebut menunjukkan sistem pendidikan kita terbesar ke-4 di dunia di bawah India, China dan Amerika. Namun apakah ukuran yang super besar ini berbanding lurus dengan kualitasnya? Silahkan dijawab sendiri, dilihat dari situasi dan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini.

Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara. Foto:factsmaps.com/
Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara. Foto:factsmaps.com/

Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 baru-baru ini diumumkan pada 5 Desember 2023, Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara yang terdiri dari 37 negara OECD dan 44 negara mitra dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Urutan Indonesia tidak jauh dari 10 besar urutan terbawah.

Peringkat PISA 2022 negara Asean. Foto:Kompas.id
Peringkat PISA 2022 negara Asean. Foto:Kompas.id

Programme for International Student Assessment (PISA) diselenggarakan setiap tiga tahun oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan di dunia dengan mengukur performa akademik pelajar sekolah berusia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan kemampuan membaca.

Dari data yang diliris OECD, 18% siswa di Indonesia hanya mencapai level 2 dalam matematika, hampir tidak ada siswa di Indonesia yang berprestasi terbaik dalam matematika dan jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara OECD. 

Singapura menjadi negara peringkat pertama terbaik dunia di bidang matematika yang mengalahkan negara Eropa, Amerika dan Asia lainnya yang artinya mereka telah mencapai Level 5 atau 6 dalam tes matematika PISA. Pada level ini siswa dapat menafsirkan dan mengenali, tanpa instruksi langsung, bagaimana situasi sederhana dapat direpresentasikan secara matematis.

Apa yang Salah dengan Sistem Pendidikan Indonesia

Elisabeth Pisani seorang jurnalis Reuters yang telah menulis beberapa buku tentang Indonesia dan mendapat pengakuan internasional. Salah satu bukunya yang berjudul "Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation" atau "Begitulah Indonesia: Menjelajahi Bangsa yang Tak Terduga". 

Isi dari buku tersebut tentang kualitas pendidikan di Indonesia dan mencoba menganalisis, mengapa kualitas pendidikan Indonesia sangat rendah yang juga mewakili sudut pandang dan pemikiran saya selama ini tentang sistem pendidikan di Indonesia.

Dalam tulisannya, Pisani menyoroti prestasi anak-anak Indonesia dalam tes PISA. Selain hasil tes matematika dan sains yang rendah, bidang kemampuan membaca anak Indonesia juga sangat buruk .

Anak Indonesia mampu membaca tetapi mereka tidak bisa menemukan ide utama dalam sebuah paragraf, memahami keterkaitan antar kalimat, maupun menarik informasi dan kesimpulan yang tepat dalam sebuah tulisan. Kemampuan rendah dalam membaca inilah salah satu faktor seseorang menjadi sasaran berita hoax.

Hasil tes PISA anak Indonesia jauh di bawah negara-negara dunia bahkan kalah dengan negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Vietnam apalagi Singapura yang menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih sangat rendah. 

Anak Indonesia tidak memiliki basic skills yang kelak akan dibutuhkan di dunia kerja, seperti berpikir kritis(critical thinking) atau memecahkan masalah (problem solving) siswa Indonesia lebih banyak ditekankan untuk memperbanyak hafalan. Kondisi ini kelak tidak menguntungkan Indonesia di era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dimana tenaga kerja bisa bekerja bebas lintas negara.

Dana pendidikan di Indonesia sebenarnya sangat tinggi dianggarkan di APBN. Presiden Jokowi sudah menganggarkan 549,5 Triliun Rupiah atau 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Tapi ternyata kontribusi sektor pendidikan terhadap GDP masih rendah rasio perbandingannya hanya 3,8% dan ini di bawah rata-rata negara di Asia Pasifik yaitu 4,6%. Tapi dana-dana itu sebagian entah "bocor" ke mana, karena orang tua juga masih keluar biaya besar untuk pendidikan. 

Sistem tutorial atau les di Indonesia berdasarkan penelitian justru tidak membuat anak lebih pintar karena tipe les atau Bimbel di Indonesia hanya mengajarkan tips dan trik soal cara mengerjakan latihan ujian dan memberi kisi-kisi materi soal ujian yang bakal keluar bukan mengajarkan bagaimana caranya untuk bisa memecahkan soal dan masalah.

Segala sesuatu bisa dibeli di Indonesia termasuk ijazah. Orang bersekolah atau kuliah tujuannya untuk dapat ijazah salah satunya untuk kenaikan pangkat bukan untuk belajar sesuatu. Oleh karena itu kualitas jadi tidak diutamakan yang penting dapat ijasah dan punya gelarnya.

Banyak orang yang berpendapat kalau Indonesia itu terlalu generalis banyak sekali mata pelajaran yang dipelajari sehingga kurang fokus pada minat dan bakat siswa sehingga lebih banyak generalis dibandingkan spesialis walaupun sistem seperti ini bisa membantu membangun fondasi dasar dan pengetahuan yang solid. 

Meskipun Indonesia sudah berganti-ganti kurikulum setiap pergantian Kabinet namun sampai sekarang belum bisa ada hasil yang signifikan karena implementasinya belum maksimal dan merata.

****

Mentri Pendidikan Nadiem Makarim telah membuat berbagai terobosan agar dapat menciptakan pendidikan Indonesia yang lebih baik dan patut untuk di apresiasi meskipun akar permasalahnya sudah terlalu kompleks. 

Di tengah problem nasib guru honorer yang belum pasti, namun guru sebagai garda terdepan layak untuk di apresiasi dengan memberi penghargaan (reward) bagi guru yang kreatif dalam mengajar dan mendorong siswanya untuk maju serta sanggup berpikir kritis. Seperti di Tiongkok, bagaimana mereka sangat menghargai seorang guru dan menggajinya dengan bayaran yang sangat tinggi.

Di tahun 2045 nanti, satu abad kemerdekaan Indonesia atau Indonesia emas 2045 banyak yang berharap melalui pendidikan yang maju, Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah akan memimpin di bidang sains dan teknologi serta bertransformasi menjadi negara maju  sejajar dengan China, Jepang, Eropa dan negara maju lainnya. 

Jadi anggaplah kritik dari tulisan Elisabeth Pisani sebagai sebuah kritik membangun bukan hinaan yang berujung pada perdebatan.

Referensi:

https://factsmaps.com/pisa-2022-worldwide-ranking-average-score-of-mathematics-science-and-reading/

https://gpseducation.oecd.org/CountryProfile?primaryCountry=IDN&treshold=10&topic=PI

Elizabeth Pisani, Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation, New York: W.W. Norton & Company, 2015.

http://indonesiaetc.com/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun