Aksi serangan bom bunuh diri kembali terjadi di Polsek Astana Anyar Bandung di tengah masyarakat yang mendambakan ketenangan dan kedamaian. Pelakunya adalah mantan narapidana dengan kasus yang sama. Ditemukan sebuah barang bukti berupa sepeda motor berwarna biru terpasang selembar kertas bertuliskan “KUHP = Hukum Syirik/Kafir. Perangi para penegak hukum setan. QS 9:19".
Mayoritas masyarakat pada umumnya akan berpendapat atau berkomentar ketika ada hal negatif dari tindakan seseorang dengan mengatasnamakan agama maka argumen yang muncul adalah agamanya tidak salah yang salah pemahaman orang tersebut.
Sekilas pernyataan ini bisa diterima. Kalau yang dimaksud yang salah adalah pemahamannya artinya orang tersebut kurang level kesadarannya dalam memahami agama tersebut.
Hal ini dapat kita lihat seandainya ada satu kitab atau satu buku dibaca ratusan orang mungkin akan ada banyak persepsi, belum tentu semua bisa menangkap sama dengan apa yang tertulis. Artinya ada suatu bagian dalam diri orang tersebut yang mempengaruhi orang itu paham atau tidak, karena ternyata kuncinya bukan di agamanya tapi pada kesadaran orang yang memahami agama itu.
Ini menjadi kontradiktif dengan sisi pandang bahwa agama adalah kebenaran. Kalau agama sebagai kebenaran artinya agama tidak mungkin salah dan kitabnya tidak bisa dirubah.
Saat itu pula agama menjadi kebenaran absolute. Konsekuensi dari sudut pandang agama sebagai kebenaran dimana apapun yang paling tinggi dan paling berkuasa adalah Tuhan, kemudian Tuhan yang konsepnya non materi di reduksi ke dalam agama atau sistem kepercayaan lalu ajarannya dimasukkan dalam satu kitab, maka disitulah semua masalah dan konflik muncul.
Terjadi perpecahan antar umat manusia yang bersumber pada agama di dalam internal agama maupun antara agama. Sisi pandang Tuhan di atas segalanya ini menjadi dasar agama menjadi kekuatan yang bisa dimanfaatkan untuk apapun.
Yang masih terjadi dalam peradaban kita saat ini perang atas dasar agama, penguasaan wilayah, bisnis untuk meraup kekayaan pribadi atas dasar agama, dan apa yang kita jumpai di negara kita sampai sekarang dimana konflik politik selalu membawa agama. Pada akhirnya agama menjadi sebuah simbol kekuasaan yang kehilangan makna substansialnya.
Kalau kita bicara tentang beberapa negara di Eropa, Scandinavia dan negara Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan atau beberapa negara yang di nilai penduduknya atheis. Negaranya jauh lebih maju, damai, menjunjung toleransi, penduduknya bahagia, tidak terpolarisasi, dan angka kriminalitasnya rendah.
Namun proses ini tidak instan, tapi sebuah perjalanan panjang. Sebagai gambaran dulu Eropa pernah mengalami era kegelapan di masa Kerajaan Romawi. Zaman ini merupakan periode kekuasaan agama, karena agama sangat mendominasi kepentingan masyarakat. Hal-hal yang tidak berhubungan dengan agama dianggap melanggar hukum.
Semua orang tanpa terkecuali dituntut untuk selalu berpegang pada dogma-dogma gereja. Segala tindakan gereja akan didukung oleh raja yang berkuasa, sehingga kedudukan gereja dapat disetarakan atau bahkan lebih tinggi dari pemerintahan kerajaan.
Pada saat dewan gereja korupsi dan ada banyak kepentingan yang dimanfaatkan untuk kekuatan politik dan kekuasaan maka gereja mulai di tinggalkan dan muncul era Renaisance atau Abad Pencerahan yang ditandai dengan dimulainya kebangkitan ilmu pengetahuan dan kembalinya humanisme. Agama mulai dipisahkan dari sistem pemerintah dan tidak boleh menjadi identitas seseorang.
Ketika agama tidak ada pengikut, umatnya berkurang dan tidak lagi memiliki kekuatan massa maka agama tidak bisa di eksploitasi untuk kekuatan politik, alat kekuasaan atau di manfaatkan untuk kepentingan apapun. Agama akan kembali pada jalurnya menjadi jalan untuk mencapai kesadaran.
Apakah proses pertumbuhan kesadaran tersebut juga akan terjadi di negara kita? Mindset yang ada di masyarakat saat ini adalah ketakutan ketika agama akan hilang kemudian akan terjadi kekacauan. Ketakutan inilah yang sengaja dibangun oleh pihak-pihak tertentu supaya mudah mengontrol dan dapat menjadi satu sarana menggerakkan perpecahan.
Religiusitas dianggap sebagai kebaikan dan salah satu karakter bangsa. Atheis dipandang berdosa atau dinilai negatif padahal label atheis saat ini lebih pada konotasi ketika seseorang tidak menganut agama apapun.
Saat agama di lembagakan dan menjadi identitas seseorang maka spiritualitas menjadi hilang dari agama. Akhirnya ketika saya bangga karena agama, membela agama artinya saya hanya bangga karena merek atau labelnya bukan karena manfaat dan nilai dari ajarannya yang bisa saya berikan kepada semua orang tanpa memandang siapapun dan apapun agama, suku atau label yang melekat lainnya.
Sejarah membuktikan beberapa agama dan sistem kepercayaan sejak ribuan tahun yang lalu datang lalu hilang berganti dengan sistem kepercayaan baru. Agama mungkin akan bertransformasi menyesuaikan perkembangan zaman, berubah atau menghilang begitu saja.
Semua tidak ada yang abadi, akan ada akhirnya ketika kita berpikir dalam level materi termasuk agama. Namun yang abadi adalah esensi dan nilai-nilainya yang menjadi petunjuk hidup atau way of life.
“ Salah satu kejahatan terbesar yang telah kita lakukan di dunia adalah memberi tahu orang-orang bahwa ada tempat yang lebih baik dari dunia ini.” ~Sadhguru~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H