Mohon tunggu...
Rania Wahyono
Rania Wahyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

Mencari guru sejati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Negara Atheis Lebih Tentram dan Damai?

14 Desember 2022   23:26 Diperbarui: 9 Januari 2024   20:35 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang teroris sedang melancarkan aksinya (Sumber Foto: https://pixabay.com)

Semua orang tanpa terkecuali dituntut untuk selalu berpegang pada dogma-dogma gereja. Segala tindakan gereja akan didukung oleh raja yang berkuasa, sehingga kedudukan gereja dapat disetarakan atau bahkan lebih tinggi dari pemerintahan kerajaan.

 Pada saat dewan gereja korupsi dan ada banyak kepentingan yang dimanfaatkan untuk kekuatan politik dan kekuasaan maka gereja mulai di tinggalkan dan muncul era Renaisance atau Abad Pencerahan yang ditandai dengan dimulainya kebangkitan ilmu pengetahuan dan kembalinya humanisme. Agama mulai dipisahkan dari sistem pemerintah dan tidak boleh menjadi identitas seseorang. 

Ketika agama tidak ada pengikut, umatnya berkurang dan tidak lagi memiliki kekuatan massa maka agama tidak bisa di eksploitasi untuk kekuatan politik, alat kekuasaan atau di manfaatkan untuk kepentingan apapun. Agama akan kembali pada jalurnya menjadi jalan untuk mencapai kesadaran.

Apakah proses pertumbuhan kesadaran tersebut juga akan terjadi di negara kita? Mindset yang ada di masyarakat saat ini adalah ketakutan ketika agama akan hilang kemudian akan terjadi kekacauan. Ketakutan inilah yang sengaja dibangun oleh pihak-pihak tertentu supaya mudah mengontrol dan dapat menjadi satu sarana menggerakkan perpecahan. 

Religiusitas dianggap sebagai kebaikan dan salah satu karakter bangsa. Atheis dipandang berdosa atau dinilai negatif padahal label atheis saat ini lebih pada konotasi ketika seseorang tidak menganut agama apapun. 

Saat agama di lembagakan dan menjadi identitas seseorang maka spiritualitas menjadi hilang dari agama. Akhirnya ketika saya bangga karena agama, membela agama artinya saya hanya bangga karena merek atau labelnya bukan karena manfaat dan nilai dari ajarannya yang bisa saya berikan kepada semua orang tanpa memandang siapapun dan apapun agama, suku atau label yang melekat lainnya. 

Sejarah membuktikan beberapa agama dan sistem kepercayaan sejak ribuan tahun yang lalu datang lalu hilang berganti dengan sistem kepercayaan baru. Agama mungkin akan bertransformasi menyesuaikan perkembangan zaman, berubah atau menghilang begitu saja. 

Semua tidak ada yang abadi, akan ada akhirnya ketika kita berpikir dalam level materi termasuk agama.  Namun yang abadi adalah esensi dan nilai-nilainya yang menjadi petunjuk hidup atau way of life. 

“ Salah satu kejahatan terbesar yang telah kita lakukan di dunia adalah memberi tahu orang-orang bahwa ada tempat yang lebih baik dari dunia ini.”        ~Sadhguru~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun