Formula dasar yang ditemukan terus mengalami penyempurnaan dan uji rasa ke beberapa chef kenalan penulis. Alhamdulillah, SariRendang mendapat tanggapan positif dari para tester. Tantangan berikutnya yang dihadapi adalah bagaimana memasarkan SariRendang. Sebuah lembaga Think tank invention and innovation dari Inggris bernama CPI (uk.cpi.com) menyatakan bahwa sebagian besar inovasi terkubur di lembah kematian karena gagal di pasar.
Penulis bertekad bahwa SariRendang tidak boleh terkubur di lembah kematian. Temuan ini harus bisa dipasarkan. Jika tidak, maka segala  upaya berbulan-bulan akan sia-sia. Pada situasi kritis seperti ini, pengalaman sebagai marketing trainer asuransi sangat membantu.
Formula sukses tenaga penjualan sebenarnya dipinjam dari teori statistik yang dikenal dengan the law of large number (hukum jumlah bilangan besar). Di dunia penjualan, hukum tersebut memiliki arti bahwa semakin banyak prospect (calon potensial) yang ditemui, semakin besar peluang terjadinya penjualan. Formula inilah yang lalu diterapkan penulis.
Bagi penulis, menjual SariRendang merupakan sebuah pembuktian bahwa produk ini layak disebut inovasi. Semacam perjuangan hidup mati. Targetnya adalah  semua hotel berbintang 5 dan perusahaan katering  di daerah Jabodetabek. Penulis telah menyiapkan ratusan bungkus sampel SariRendang untuk ditawarkan kepada para Chef di hotel-hotel dan purchasing department di perusahaan katering.
Ternyata memasarkan SariRendang tidaklah lebih mudah dibanding menemukan formulanya. Akan tetapi, penulis yakin bahwa semua hal baik dan dilakukan dengan cara cara yang baik pasti akan menemukan jalannya.  Ternyata keyakinan tersebut berbuah manis.  Setelah  menawarkan produk ke berbagai calon potensial selama 4 bulan, order akhirnya datang dari The Dharmawangsa Hotel dan Sari Pan Pacific Hotel, satu lagi perusahaan katering bernama Ibu Djoko Catering yang beralamat persis di seberang Cilandak Mall.Â
Yang membuat penulis bangga adalah order SariRendang oleh Hotel Dharmawangsa datang dari Chef Vindex Tengker, mantan Juri Master Chef dan Ketua Asosiasi Chef Indonesia. Ini membuktikan bahwa SariRendang diterima di Hospitality Industry yang menerapkan persyaratan yang sangat ketat dalam konsistensi rasa dan warna.
Namun sangat disayangkan, walaupun telah 10 tahun berlalu pasca rendang dipromosikan oleh CNN ke mancanegara,  emas hitam dari Ranah Minang itu belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap ekonomi lokal maupun nasional. Tidak usah  dibandingkan dengan sushi dari Jepang, thai tea dari Thailand, kimchi dari Korea, dibandingkan dengan Indomie saja Rendang tidak ada apa-apanya. Mengutip data statistik Depperin pada 2020, Indonesia meraih devisa senilai $25 juta dari ekspor Indomie dan produk mie. Sedangkan jumlah dolar yang diperoleh dari ekspor Rendang tidak tercatat.
Ironisnya, China memiliki pabrik makanan olahan yang memproduksi Rendang. Berikut profil singkat perusahaan tersebut yang dikutip dari situs Alibaba.com; Huiquan Canned Food Co., Ltd. Berlokasi di kota Chengdu, pabrik ini bergerak di industri makanan olahan (processed food) dan makanan beku (frozen food). Huiquin sendiri telah memproduksi  lebih dari 20 macam produk makanan kaleng. Salah satu produknya adalah Rendang kaleng siap saji.
Semua produk makanan kaleng produksi Huiquin telah memiliki sertifikasi HAACP dan ISO. Sebagian besar produk dijual di dalam negeri, serta sebagian di ekspor. Selain China, beberapa negara lain seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura telah lama mengekspor Rendang ke pasar Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. Negara-negara tersebut telah lama mendapatkan keuntungan ekonomi (devisa) dari nama besar Rendang.
Di saat Indonesia selaku pemilik Rendang gencar mempromosikan makanan ini ke mancanegara, negara lain gencar menjual produk Rendang mereka. Tanpa sadar kita menghabiskan uang untuk mempromosikan produk Rendang mereka. Paradoks promosi Rendang harus dihentikan.
Hampir 1 dekade penulis mengajak berbagai pihak dari pemerintah untuk bersama-sama memaksimalkan potensi Rendang dengan mendirikan pabrik pengolahan Rendang di Indonesia.  Penulis sudah mengajukan proposal ke Dinas Perindustrian, Dirjen, Gubernur, pengusaha, tapi belum  ada yang menanggapi.