Sebelum terbenam dalam kegianta R&D masakan Rendang, penulis bekerja di sebuah perusahaan asuransi multinasional John Hancock Life Insurance Company, perusahaan asuransi jiwa joint venture antara Bhumiputera dengan John Hancock Life Insurance dari Amerika Serikat. Awalnya manajemen menunjuk penulis sebagai marketing trainer yang bertugas men-training agen asuransi. Selang 2 tahun kemudian, penulis diangkat menjadi Executive Trainer. Di posisi baru itu, tugas dan tanggung jawab penulis bertambah, yaitu men-training agen pemasaran untuk pulau Jawa dan Bali.
Sejalan dengan bertambahnya tugas dan tanggung jawab, take home pay pun bertambah. Kira-kira sama dengan yang diterima Accounting Manager di perusahaan tersebut pada waktu itu di akhir tahun 90an. Selain menerima gaji yang cukup lumayan, manajemen juga berbaik hati mengirim penulis ikut pelatihan ke luar negeri. Bonus lain adalah naik pesawat dan menginap gratis di hotel berbintang ketika bertugas ke daerah. Termasuk menambah kenalan baru di kota yang dikunjungi. What a life!
Ketika pindah ke Jakarta, keluarga menempati rumah kontrakan di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, kemudian pindah ke perumahan yang dibangun pemerintah di selatan Jakarta. Perumahan itu ditempati pegawai negeri, guru, dan karyawan BUMN yang rata rata berusia muda. Putra-putri mereka pun paling besar bersekolah di SD dan SMP. Di perumahan itu, kami menempati rumah tipe 21 yang aslinya hanya ada 1 kamar tidur, ruang tamu, dan kamar mandi. Di belakang rumah masih tersisa lahan cukup untuk membangun 2 kamar lagi. Keluarga membangun 2 kamar di lahan yang tersisa. Jadi rumah yang kami tempati cukup memadai ketimbang terus menerus jadi “ kontraktor ”.
Seiring berjalannya waktu, rumah tipe 21 yang ditempati penghuninya mulai sempit dan pengap karena anak mereka tumbuh dewasa. Tidak semua penghuni sanggup membangun kamar tambahan karena keterbatasan dana. Maklum rumah tipe 21 itu ditempati oleh pegawai negeri golongan I, yang waktu itu gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup 20 hari. Agar tetap survive, keadaan harus disiasati dengan mengencangkan ikat pinggang.
Kondisi tempat tinggal yang tidak nyaman dengan banyaknya remaja yang putus sekolah melahirkan berbagai masalah sosial. Penulis mengamati, jika keluarga memiliki 3 orang anak yang sudah remaja, salah satunya kalau tidak mabok mabokan, ya mengidap depresi berat. Ada juga yang terlibat kasus narkoba, dan sering juga kedapatan meninggal tanpa sebab? dll.
Ada kisah pilu yang sulit penulis lupakan, yaitu kisah kelam dari anak tetangga yang duduk di kelas III SMP. Saksi mata menceritakan bahwa dalam perjalanan ke sekolah dia ditangkap polisi karena dicurigai sebagai pengedar ganja. Si anak yang tak berdaya itu ditelungkupkan mukanya ke aspal sehingga darah bercecer. Dalam ranselnya ditemukan 5 linting ganja. Menurut pengakuan remaja 15 tahun itu, ia disuruh oleh seseorang (bandar) untuk mengantarkan barang terlarang itu dengan imbalan uang jajan.
Tanpa diadili, si anak ditahan di sebuah LP di Bogor. Selang seminggu kemudian, keluarganya dikabari bahwa anaknya meninggal dunia karena sakit. Terkejut dan curiga, penulis dan beberapa teman pergi melihat mayat itu untuk mencari tahu apakah dia meninggal wajar atau karena suatu sebab.
Yang penulis khawatirkan jadi kenyataan. Setelah membuka kantong plastik yang membungkus mayat, penulis melihat jahitan kasar seperti jahitan karung dari bawah dada sampai ke bawah pusar di atas kemaluan. Kondisi paha dan betis memar. Pelipis mata biru. Si anak yang sering tersenyum dan menyapa penulis jika bertemu terbujur kaku dengan kondisi tubuh yang rusak. 5 linting ganja mengirimnya ke liang lahat.
Bertahun sudah peristiwa itu berlalu, namun sulit bagi penulis melupakannya. Karena peristiwa semacam itu terjadi di mana mana. Di Indonesia semakin banyak penduduk usia produktif itu menghabiskan waktunya di penjara ketimbang di tempat kerja. Sungguh suatu yang memprihatinkan.
Beritanya sempat viral di harian Post Kota. Penulis minta bantuan ke pengacara memperkarakan mengapa tanpa si izin keluarga, mayat dibedah. Namun kedua orang korban tidak mau memperpanjang perkara tersebut, dan mengikhlaskan kepergian putra mereka. Bapak si anak yang bekerja sebagai pegawai negeri khawatir akan kehilangan pekerjaan jiga harus ke pengadilan.
Begitulah yang penulis alami. Kisah sekian tahun itu masih membekas dalam hati. Penulis mudah terenyuh apabila melihat anak muda menghabiskan waktu produktifnya nongkrong sampai larut malam untuk menghabiskan waktu, duduk di halte bus dengan pandangan hampa, terlibat tawuran masal, begal motor, ibu mengemis sambil mengendong anak, para sarjana antri berdesak-desakan mencari lowongan pekerjaan jika ada job fair, dan sebagainya.