Peta kekuatan militer saat itu, sangat memungkinkan untuk menumpas Soeharto dan pasukannya, mengingat, angkatan lain, Laut, Udara, dan Kepolisian bisa dibilang mutlak berdiri di belakang Bung Karno. Bahkan beberapa divisi Angkatan Darat, juga tegas-tegas menyatakan loyal kepada Bung Karno. Sejarah menghendaki lain. Bung Karno melarang. Bung Karno tidak ingin persatuan dan kesatuan bangsa yang ia perjuangkan sejak remaja hingga menjadi presiden, kemudian hancur kembali oleh perang saudara, hanya demi membela dirinya. Bung Karno pasang badan untuk menjadi tumbal persatuan Indonesia.
   Begitulah para pendiri bangsa ini mengajarkan kita semua bahwa segala bentuk pertikaian yang berpotensi membubarkan republik ini hanya bisa diselesaikan dengan wisdom. Sangat naif bin naif kalau dalam menyelesaikan pertikaian antar anak bangsa hanya merujuk pada legalitas formal yang bukan warisan para leluhur bangsa, melain warisan dari bangsa lain.
   Krisis politik pasca Pemilu adalah  dialektika dari peristiwa peristiwa  yang terjadi  ketika republik Indonesia  akan dibentuk. Semisal pengulangan sejarah. Dan Bung Karno beramanat kepada penerus bangsa dengan pekikan Jasmerah, atawa jangan sekali kali melupakan sejarah. Karena sejarah akan terlulang kembali, meskipun dalam bentuk lain, tetapi esensinya sama.
   Ada benang merah yang dapat ditarik dari krisis sebelum dan pasca Pilpres tanggal 17 April yang lalu dengan peristiwa yang terjadi ketika republik ini dalam proses pembentukan. Benang merah tersebut adalah adanya dua kubu yang berseberangan ide dan nilai  di republik ini, yaitu kelompok Islam Nasionalis dan Sekular. Benang merah tersebut sungguh nyata dan kita tidak usah  pura pura tidak melihatnya.
  Jurang pemisah tersebut makin hari makin melebar. Dan akibatnya sungguh sangat ngeri kalau dibiarkan terus bergulir seperti bola liar, yaitu pertikaian antara anak bangsa. Jika hal tersebut terjadi, tak ada satupun pihak yang menang, yang ada hanya kehancuran. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Kata pepatah.
   Menurut para pengamat, Pemilu  tahun 2019 merupakan Pilpres yang paling mahal, paling ruwet, paling diragukan keabsahaannya, dan paling brutal jika dibandingkan dengan Pemilu Pemilu yang diselenggarakan sebelumnya. Polarisasi antara kelompok Islam Nasionalis dan Sekular yang dahulu mencair, pada Pemilu 2019 kembali mengkristal. Politik idenitas kembali mewarnai konstelasi politik Indonesia.
   Menurut penulis  penyebab pasca Pemilu disebabkan oleh sebagian elit negeri ini gagal paham dengan esensi demokrasi yang berlaku di negara barat yang liberal, dengan demokrasi panca sila yang diwariskan oleh founding fathers.
   Pemilu merupakan realisasi hak berdemokrasi rakyat  untuk memilih pemimpin mereka. Pemilu di negara yang menganut demokrasi liberal berdasarkan pada prinsip " the winner takes it all ". Rakyat memilih langsung pemimpinnya, atau dikenal dengan istilah Pilpres langsung. Contoh ekstrimya adalah Amerika Serikat. Sedangkan Pemilu di Indonesia berdasarkan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Dasar pemilu di Indonesia tertulis sangat jelas pada sila ke empat Panca Sila; Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi rakyat memilih Pemimpin negeri ini  melalui perwakilan mereka yang disalurkan melalui partai politik, bukan memilih  langsung. Pilpres di negara kita tidak mengenal istilah the winner takes it all, namun berdasarkan azas keterwakilan.
   Sampai disini tentu para pembaca cukup memahami esensi demokrasi liberal dan demokrasi Panca Sila. Akan tetapi sebagian elit politik negeri ini memiliki pola berfikir yang membingungkan. Mereka telah lama terindikasi terjangkit penyakit " contradictio in terminus, yaitu semacam penyakit  ketidaksesuaian antara apa dikatakan dengan yang diperbuat. Istilah santrinya munafik. Orang tua kita atau pendiri bangsa telah menyusun tata cara Pemilu di Indonesia. Mereka mengamanatkan bahwa dalam demokrasi panca sila tidak ada Pilpres langsung, melainkan Pilpres tak langsung. Tetapi pada faktanya, yang dilakukan Pilpres langsung. Mencontoh Pilpres yang berlaku di Amarika Serikat.
   Umpama demokrasi itu dianalogikan sebagai baju, baju demokrasi liberal itu cocok dengan bangsa Amerika yang tubuhnya besar dan tinggi. Sekarang rakyat Indonesia yang tubuhnya kecil dan kebanyakan pendek pendek pula dipaksa oleh pemimpinnya untuk mengenakan baju orang Amerika. Ya pasti kegombrangan dan kedodoran. Jadi lucu kelihatannya.
   Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia, tidak suka dengan demokrasi gaya Amerika. Bukan hanya pada demokrasi Amerika beliau tidak suka, tetapi juga pada makanannya. Ingat kata bung Karno kepada Amerika: " Bangsa   Indonesia tidak suka keju dan susumu itu. Bangsa Indonesia lebih suka peyeum. Go to hell with your aid, pekik bung karno". Pemimpin sejati bangsa yang contoh tauladannya mesti ditiru oleh generasi penerus.