Eksistensi NKRI  tergantung pada wisdom ( kearifan)  para pemimpinnya,  bukan pada mesin hitung yang mudah dimanipulasi, bukan juga pada azas legalitas formal atau retorika subjektif dan  pragramatis jangka pendek; yaitu ambisi untuk berkuasa.  Founding fathers ( para pendiri negara ) telah mewariskan wisdom itu kepada kita penerus bangsa. Wisdom yang diwariskan tersebut adalah Panca Sila dan  Undang Undang Dasar 1945 yang asli, bukan yang diamandemen. Warisan keramat itu terbukti mampu menjaga keutuhan NKRI, meskipun  banyak ombak dan badai menerjang.
   Founding fathers  NKRI adalah orang orang bijak dimana visi mereka untuk menjaga keutuhan  NKRI tak lapuk karena hujan, dan tak lekang karena panas. Pemikiran dan wisdom beliau beliau  mampu menembus ruang dan waktu. Karena dalam berfikir dan bertindak,  mereka mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau  kelompok. Demi keutuhan NKRI, mereka tidak hanya rela mengorbankan ide dan prinsip, bahkan jiwa ragapun siap mereka korbankan. Jika karena bukan hal yang demikian,  NKRI tidak akan pernah ada.
   Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua dari sekian banyak bapak bangsa yang banyak mewariskan wisdom yang patut diteladani. Wisdom kedua tokoh bangsa itu memungkinkan berdirinya NKRI serta  mencegah bangsa ini dari perang saudara yang akibatnya sangat mengerikan.
  Nukilan sejarah jadi bukti betapa tingginya nilai wisdom yang mereka miliki.  Mengutip sejarawan Universitas Indonesia, Anhar gonggong, seperti yang ditulis dalam harian republika,  sore hari pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta mempkrolamirkan kemerdekaan Indonesia, seorang opsir Jepang dari Indonesia timur menemui Hatta, yang juga wakil ketua PPKI.  Opsir itu mengatakan, kalau tujuh kata dalam sila pertama Panca Sila dimasukkan ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara, maka umat Kristen dan non- Islam akan keluar dari Indonesia. Lalu Hatta menjelaskan, ini tidak disertai diskriminasi. Pihak opsir tersebut bertahan dengan argumentasinya.
    Anhar menilai Bung Hatta sebagai Muslim yang taat. Tapi, demi kepentingan bangsa, dia tak memikirkan kepentingan golongan. Mendengar penjelasan Hatta, pada hari berikut nya, sejumlah tokoh sempat berdiskusi panjang, antara lain Sukarno, Yamin, Haji Agus Salim, Kahar Moezakir, Kasman Singo dimedjo, dan Teuku Hasan.
   Para tokoh bangsa itu menyepakati hilangnya tujuh kata dalam butir pertama Piagam Jakarta yang menjadi penghalang berdirinya NKRI. "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Sila  pertama hanya mencantumkan " Ketuhanan Yang Maha Esa", sedangkan kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya dihilangkan.
   Kerelaan umat Islam menghilangkan tujuh kata dalam sila pertama, seperti tertulis dalam piagam Jakarta, berhasil menjembatani jurang pemisah antara Islam nasionalis dengan kelompok non- muslim dan sekuler. Jurang pemisah yang hampir menggagalkan terbentuknya NKRI. Sing waras ngalah. Begitulah cara pemimpin sejati mengajarkan wisdom kepada kita.
   Catatan sejarah berikut  mengenai wisdom Bung Karno yang terbukti dapat menghindari perang saudara di Indonesia. Kisah tersebut dikutip dari tulisan  Roso Daras-nya di  wordpress.com. Berikut kutipannya.
   Letjen KKO Hartono adalah satu di antara sekian banyak jenderal loyalis Bung Karno. Dia adalah satu di antara elite militer negeri kita pada masanya, yang begitu loyal kepada presidennya. Ucapan yang terkenal dari Hartono adalah, "Putih kata Bung Karno, Putih kata KKO. Hitam kata Bung Karno, Hitam kata Bung Karno". Akibat statemen itu, tak lama kemudian di Jawa Timur, prajurit KKO berdemo dan membentang poster bertuliskan, "Pejah-gesang Melu Bung Karno"... yang artinya, Mati-Hidup Ikut Bung Karno. Ini adalah nukilan sejarah yang terjadi tahun 1966.
   Kembali ke Hartono KKO. Dia termasuk elite militer yang mengetahui adanya gelagat mencurigakan sebelum peristiwa Gestok. Bukan itu saja, Hartono juga termasuk yang mencurigai Soeharto sebagai "master mind" di balik Gestok. Pernah suatu hari, dia bersama Waperdam Chaerul Saleh diutus Bung Karno untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Soeharto sebagai pelaksana Supersemar. Intinya adalah, meluruskan hakikat Supersemar, termasuk melarang Soeharto mengambil tindakan-tindakan politik yang menjadi wewenang Presiden. Jawab Soeharto, "Sampaikan ke Bapak, itu tanggung jawab saya."
   Sebagai jenderal pasukan elite, mendidih hati Hartono. Meradang amarah demi melihat sesama prajurit (meski beda angkatan) tetapi berani menentang panglima tertinggi. Karena itu pula, tidak sekali dua, Hartono meminta izin Bung Karno untuk mengerahkan kekuatan KKO menggempur Soeharto dan semua anasir militer yang dia kendalikan untuk menggulingkan Bung Karno.