Mohon tunggu...
Adol Frian Rumaijuk
Adol Frian Rumaijuk Mohon Tunggu... Jurnalis - Berjuang demi sesuap nasi

Jolma na pogos alai mamora di roha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan di Toba Tangkal Dampak MEA

14 Oktober 2014   00:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pola hidup bergotong royong menjadi ciri khas warga Indonesia khususnya warga yang tinggal di kawasan Toba, Sumatera Utara. Kegiatan-kegiatan mulai dari pertanian, pesta adat, hingga hal lainnya dilakukan dengan bersama-sama. Dengan filosofi meringankan pekerjaan berat, menjadi dasar tolong menolong warga.

Pada umumnya, untuk kegiatan pertanian disebut dengan istilah 'marsiadapari'. Marsiadapari dapat diartikan sebagai tenaga diganti dengan tenaga. Hal ini bisa dilakukan mulai musim pengolahan tanah sampai masa panen di perswahan.

Saat akan mengolah lahan, pemilik lahan akan mencari rekan sekampung untuk diajak sama-sama mengerjakan lahan tersebut. Dan sesuai dengan jumlah hari yg telah dilalui di lahan tersebut akan diganti dengan bekerja bersama kembali di lahan rekannya tadi. Bahkan, jenis pekerjaan yg dilakukan bisa berbeda asalkan sudah ada kesepakatan.

Jadi upah dari segi uang atau barang tidak perlu dipikirkan oleh seorang petani. Dengan cara ini juga, pekerjaan yg berat akan terasa ringan ketika dikerjakan bersama-sama.

Selain 'marsiadapari', istilah lain digunakan untuk gotongroyong saat ada pesta adat. Pesata adat bisa saat pernikahan, pesta adat meninggal dunia, dan adat lainnya. Disebut dengan 'marhobas', dimana setiap pemuda dan pemudi yang ada di suatu kampung akan turut serta secara sukarela membantu pekerjaan pelaksanaan sebuah pesta.

Tuan rumah (hasuhuton) akan memberikan kepercayaan kepada pihak 'boru' untuk mengkomandoi para pemuda dan warga kampung yang turut melayani dalam sebuah pesta. Mulai dari menyiapkan tempat, untuk menyiapkan konsumsi, bahkan membersihkan lokasi pesta jika dibutuhkan.

Hasuhuton akan sangat terbantu dengan kondisi ini. Dimana, secara otomatis kearifan lokal ini akan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan saat akan melaksanakan sebuah pesta.

Ada juga konsekuensinya bagi seorang/keluarga yang kerap tidak mau ikut serta dalam kegiatan 'marhobas'. Saat keluarga ini mengadakan hajatan, maka pemuda dan warga lainnya tidak akan membantu mempersiapkan pestanya.

Sayangnya, kearifan lokal seperti ini sudah mulai terlupa dari kehidupan di Sumut, Khususnya masyarakat Bangso Batak. Bangso Batak yang malakoni kegiatan ini sejak dahulu mulai melupakannya. Generasi saat ini terpengaruh oleh masuknya budaya-budaya simplikasi dalam melakukan sebuah pekerjaan maupun hajatan.

Kesenjangan ekonomi pertama sekali menggerus kearifan lokal ini. Dimana, seseorang yang merasa ekonominya mapan akan enggan mengikuti warga lainnya 'marhobas' di sebuah hajatan yang memiliki ekonomi lebih rendah darinya. Bahkan dia merasa akan mampu membayar tenaga orang yang akan dipergunakan saat melakukan sebuah hajatan.

Faktor selanjutnya adalah, masuknya budaya masyarakat urban ke tengah perkampungan yang berbudaya. Menjamurnya cattering menjadi awal kehancuran kebersamaan untuk melakukan pekerjaan untuk menghadapi pesta adat. Hal ini awalnya ditemuia di kawasan perkotaan, dan kini telah merasuki kehidupan di perkampungan Bangso Batak.

Jika sebelumnya homogennya penduduk sebuah perkampungan menjadikan kearifan tolong menolong itu tercermin dan dilaksanakan dengan baik. Namun, pola kependudukan heterogen yang ada di perkotaan juga
terbawa-bawa ke perkampungan orang batak.

Menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, laju kegiatan ekonomi di daerah pinggiran perkotaan tentu tidak akan sama dengan di kawasan inti kota atau sentra bisnis. Jika kearifan lokal seperti ini tidak dipertahankan, justru akan semakin menyulitkan kehidupan sebuah wilayah yang jauh dari sentuhan teknologi. Tekanan kemajuan zaman dan sistem akan mendesak dan menjadikan kawasan tertinggal semakin terbelakang.

Sikap transaksional juga menjadi tantangan berat ke depan. Hal ini ditunjukkan saat masuknya industri-industri yang memberlakukan sistem kerja Buruh Harian Lepas (BHL). Kondisi ini tergambar seperti di kehidupan warga di sekitar kawasan PT Indorayon Inti Utama (IIU) di Kecamatan Parmonagan, Tapanuli Utara. Dimana warga petani tidak lagi mengerjakan lahan pertaniannya, lebih mengutamakan bekerja harian. Ladang dan persawahan akan menjadi hutan akan menyulitkan saat akan mengerjakannya kembali. Saat perusahaan tidak membutuhkan BHL, maka mereka akan gigit jari.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun