Istilah Cultuurstelsel atau tanam paksa kerap dianggap sebagai salah satu paranoid dalam buku sejarah Indonesia. Ianya dianggap sebagai kambing hitam atas memburuknya perekonomian rakyat pribumi dan kelaparan yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia saat itu. Namun apakah benar tuduhan yang selama ini didakwakan atas kebijakan ini nyata adanya?
Pertama-tama mari kita ulas dulu nama kebijakan ini. Cultuurstelsel. Mungkin banyak dari kita yang menyangka bahwa arti dari nama tersebut adalah "tanam paksa". Namun nyatanya fakta ini salah. Cultuurstelsel berasal dari dua kata: cultuur dan stelsel. Cultuur berasal dari kata cultiveren yang berarti budidaya atau penanaman. Sedangkan stelsel berarti sistem. Jika digabungkan berarti "sistem budidaya" atau "the cultivation system" dalam bahasa Inggris. Jika ditarik secara lebih luas, cultuurstelsel berarti sistem budidaya tanaman pada zaman pendudukan Belanda di Indonesia (atau Hindia Belanda). So, tidak ada kata "paksa" sebenarnya jika ditinjau secara harfiah. Sangat berbeda dengan apa yang kita pahami selama ini.
Sekarang mari kita tinjau bagaimana kebijakan ini muncul dan berlangsung. Kebijakan ini bermula seiring dengan mulai mundurnya perekonomian VOC di akhir abad ke-18 karena berbagai masalah internal dalam tubuh VOC seperti praktik korupsi yang marak di kalangan para pegawainya. Akibat maraknya proses korupsi yang semakin menggerogoti tubuh VOC, Pemerintah Belanda pun membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Dan sejak 1 Januari 1800, pemerintah Belanda resmi mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
Bubarnya VOC menyisakkan pekerjaan rumah bagi pemerintah kolonial Belanda. Salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah mengisi kas negara yang kosong. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama, Dirk van Hogendorp mengusulkan agar rakyat diberikan kebebasan untuk memilih jenis tanaman dan bebas untuk menjualnya. Penyerahan wajib kepada pemerintah dikemas dalam bentuk pajak yang berupa hasil bumi dan pajak uang perkepala. Pemerintah berharap dengan sistem ini rakyat menjadi lebih giat dalam menanam, dan mampu menghasilkan berbagai komoditi ekspor, seperti kopi, beras, lada, kapas, coklat, dll.
Kebijakan Hogendorp tidak berjalan dengan baik akibat masih kuatnya sistem feodal di Jawa, hingga Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berkuasa (1808-1811). Gubernur Jenderal Daendels menekankan pentingnya sentralisasi kekuasaan di bawah wewenang pemerintah pusat. Salah satu tindakan yang paling fenomenal Daendels ialah mengatur hubungan antara pemerintah kolonial dengan penguasa pribumi. Salah satu yang dampaknya adalah sistem penguasaan tanah. Tanah-tanah milik penguasa lokal menjadi milik negara. Para penguasa lokal yang semula adalah pemilik tanah, kini berubah menjadi penggarap di tanah-tanah pemerintah. Kebijakan ini mengakibatkan runtuhnya sistem feodal di tanah Jawa. Hal ini terjadi sampai kedatangan Inggris pada 1811 yang memperkenalkan sistem sewa tanah (landrente).
Pasca pendudukan Inggris pada tahun 1816, Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda. Awalnya, Belanda masih menggunakan sistem sewa tanah (landrente) seperti saat pendudukan Inggris. Namun sistem ini tidak berjalan dengan maksimal, sehingga gagal mendorong para petani untuk meningkatkan produksi tanaman komoditas ekspor mereka. Kebutuhan akan suatu kebijakan baru diharapkan dapat dengan cepat mengisi kekosongan kas negeri Belanda memang sangat mendesak. Keadaan perekonomian negeri Belanda saat itu memang sedang kacau. Untuk mengisi kekosongan kas Belanda inilah, Gubernur Jenderal Belanda saat itu, Johannes van den Bosch menggagas sistem cultuurstelsel ini pada tahun 1830.
Let's move into peraturan dalam kebijakan cultuurstelsel. Dalam Staatsblad tahun 1934 nomor 2 yang berisi ketentuan tentang cultuurstelsel adalah sebagai berikut:
1. Penduduk desa menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa (kopi, tembakau, nila, cengkeh, dll).
2. Tanah yang disediakan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman yang ditentukan tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi dan komoditi pangan lainnya.Â
4. Bagian yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.Â
5. Hasil tanaman wajib diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bila hasilnya melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Kegagalan panen harus dibebankan kepada Pemerintah Hindia Belanda, terutama bila kegagalan bukan disebabkan oleh kelalaian penduduk.
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala mereka, dan para pegawai Eropa membatasi pengawasannya pada segi-segi teknis dan ketepatan waktu dalam pembajakan tanah, panen, serta pengangkutan. Â
Sekilas, jika sesuai denga poin-poin diatas, kebijakan ini tidak terlalu menindas rakyat. Terutama jika dilihat dari sudut pandang poin ke-2 hingga terakhir. Bahkan kebijakan ini memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam menanam tanaman yang laku di pasaran internasional. Bahkan menurut poin ke-6, kuasa pengawasan dari para pengawas Eropa pun dibatasi.
Menurut Mifta Hermawati dalam jurnalnya yang berjudul "Tanam Paksa sebagai Tindakan Eksploitasi " yang terbit dalam jurnal ISTORIA, ia menyebutkan bahwa Belanda sebisa mungkin menerapkan tanam paksa ini tanpa kontak langsung dengan petani. Oleh karena itu, yang diberi kuasa di tanam paksa ini sebenarnya adalah para bupati lokal (adipati) dan para kepala desa pada saat itu. Kepentingan pemerintah Belanda hanya pada hasilnya, yang dihitung dalam pikol (+62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah. Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ketempat lain karena pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasannya kepada para pejabat Belanda setempat dan para kontrolir lokal yang mempunyai motivasi untuk meningkatkan produksi karena mereka memperoleh "cultuurprocent".
Pada sistem tanam paksa tugas petani tidak hanya sekedar menanam saja, melainkan juga diharuskan memproses hasil panennya untuk diserahkan kepada gudang-gudang milik pemerintah. Sebagai gantinya, para petani akan menerima sejumlah uang pembayaran yang disebut plantloon, yang nantinya uang plantloon tersebut digunakan untuk membayar tagihan pajak tanah dari tanah yang mereka garap di desa mereka sesuai dengan daerah-daerah yang telah ditetapkan. Menurut Kartodirjo dalam bukunya yang berjudul "Sejarah perkebunan di Indonesia: Kajian sosial ekonomi" yang terbit pada tahun 1991, ia mengatakan bahwa meskipun petani menerima upah dari hasil kerja kerasnya menanam dan menerima pembayaran ketika menjual hasilnya ke pemerintah kolonial, akan tetapi uang tersebut tidak pernah cukup untuk menghidup kehidupan mereka. Sistem tanam paksa telah menciptakan lalu lintas uang yang mempercepat timbulnya ekonomi uang di desa. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa para adipati dan penguasa desa mendapat untung yang lebih besar dalam penerapan kebijakan ini.
Satu hal yang menjadikan cultuurstelsel menjadi kebijakan yang menindas adalah adanya kebijakan pendamping yang bernama cultuurprocenten. Pemerintah kolonial Belanda akan memberikan bonus berupa cultuur procenten, kepada para pejabatnya, baik pejabat Belanda maupun pribumi apabila panen yang dihasilkan dapat memenuhi target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan inilah yang akhirnya menyebabkan tindakan penyelewengan besar-besaran terhadap poin-poin peraturan dalam cultuurstelsel. Para pejabat Belanda maupun pribumi berlomba-lomba untuk memeras rakyat, melebihkan poin-poin peraturan, seperti di poin ke-2 dimana rakyat hanya perlu menggarap seperlima dari tanahnya, dilebihkan menjadi sepertiga atau setengah. Selain itu, dicurigai juga adanya tindakan pengurangan uang plantloon yang diterima para petani. Dalam hal ini, terkonfirmasi bahwa pejabat pribumi juga banyak yang terlibat dalam praktek ini.
Penyediaan tanah untuk digarap dibebankan kepada seluruh desa, bukan kepada penduduk secara individu sebagai pemilik tanah. Pemerintah kolonial Belanda beralasan hal tersebut untuk mempermudah dalam menanganinya. Akibat dari hal tersebut maka terjadilah perluasan tanah secara komunal (milik bersama), dan terjadi perubahan hubungan sosia di pedesaan. Kemudian tanah yang semua hanya diwajibkan 1/5 bagian, lalu kemudian meluas menjadi 1/3 bagian, lalu bagian, bahkan menjadi seluruh tanah desa. Akibatnya, tanah yang harus digarap petani semakin banyak, dan cuan kepada pemerintah Belanda maupun kepada penguasa lokal pun semakin banyak pula.
Penyelewengan yang terjadi selama puluhan tahun sejak pelaksanaan sistem tanam paksa mengakibatkan kondisi yang buruk bagi rakyat, khususnya para petani. Gelombang kelaparan akibat minimnya lahan pertanian dan ekspolitasi tenaga kerja di beberapa daerah banyak mengakibatkan kematian dan penderitaan. Cultuurstelsel memberikan gambaran sejarah awal praktek korupsi di tanah air kita tercinta, baik dari penjajah Belanda maupun penguasa lokal kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H