Mohon tunggu...
Muhammad RanggaNoor
Muhammad RanggaNoor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa biasa penyuka sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cultuurstelsel Belanda: Menyingkap Kesalahpahaman dan Penyelewengannya

16 September 2024   22:47 Diperbarui: 23 September 2024   10:13 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. NNC netralnews.com

4. Bagian yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. 

5. Hasil tanaman wajib diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Bila hasilnya melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.

6. Kegagalan panen harus dibebankan kepada Pemerintah Hindia Belanda, terutama bila kegagalan bukan disebabkan oleh kelalaian penduduk.

7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala mereka, dan para pegawai Eropa membatasi pengawasannya pada segi-segi teknis dan ketepatan waktu dalam pembajakan tanah, panen, serta pengangkutan.  

Sekilas, jika sesuai denga poin-poin diatas, kebijakan ini tidak terlalu menindas rakyat. Terutama jika dilihat dari sudut pandang poin ke-2 hingga terakhir. Bahkan kebijakan ini memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam menanam tanaman yang laku di pasaran internasional. Bahkan menurut poin ke-6, kuasa pengawasan dari para pengawas Eropa pun dibatasi.

Menurut Mifta Hermawati dalam jurnalnya yang berjudul "Tanam Paksa sebagai Tindakan Eksploitasi " yang terbit dalam jurnal ISTORIA, ia menyebutkan bahwa Belanda sebisa mungkin menerapkan tanam paksa ini tanpa kontak langsung dengan petani. Oleh karena itu, yang diberi kuasa di tanam paksa ini sebenarnya adalah para bupati lokal (adipati) dan para kepala desa pada saat itu. Kepentingan pemerintah Belanda hanya pada hasilnya, yang dihitung dalam pikol (+62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah. Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ketempat lain karena pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasannya kepada para pejabat Belanda setempat dan para kontrolir lokal yang mempunyai motivasi untuk meningkatkan produksi karena mereka memperoleh "cultuurprocent".

Pada sistem tanam paksa tugas petani tidak hanya sekedar menanam saja, melainkan juga diharuskan memproses hasil panennya untuk diserahkan kepada gudang-gudang milik pemerintah. Sebagai gantinya, para petani akan menerima sejumlah uang pembayaran yang disebut plantloon, yang nantinya uang plantloon tersebut digunakan untuk membayar tagihan pajak tanah dari tanah yang mereka garap di desa mereka sesuai dengan daerah-daerah yang telah ditetapkan. Menurut Kartodirjo dalam bukunya yang berjudul "Sejarah perkebunan di Indonesia: Kajian sosial ekonomi" yang terbit pada tahun 1991, ia mengatakan bahwa meskipun petani menerima upah dari hasil kerja kerasnya menanam dan menerima pembayaran ketika menjual hasilnya ke pemerintah kolonial, akan tetapi uang tersebut tidak pernah cukup untuk menghidup kehidupan mereka. Sistem tanam paksa telah menciptakan lalu lintas uang yang mempercepat timbulnya ekonomi uang di desa. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa para adipati dan penguasa desa mendapat untung yang lebih besar dalam penerapan kebijakan ini.

Satu hal yang menjadikan cultuurstelsel menjadi kebijakan yang menindas adalah adanya kebijakan pendamping yang bernama cultuurprocenten. Pemerintah kolonial Belanda akan memberikan bonus berupa cultuur procenten, kepada para pejabatnya, baik pejabat Belanda maupun pribumi apabila panen yang dihasilkan dapat memenuhi target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan inilah yang akhirnya menyebabkan tindakan penyelewengan besar-besaran terhadap poin-poin peraturan dalam cultuurstelsel. Para pejabat Belanda maupun pribumi berlomba-lomba untuk memeras rakyat, melebihkan poin-poin peraturan, seperti di poin ke-2 dimana rakyat hanya perlu menggarap seperlima dari tanahnya, dilebihkan menjadi sepertiga atau setengah. Selain itu, dicurigai juga adanya tindakan pengurangan uang plantloon yang diterima para petani. Dalam hal ini, terkonfirmasi bahwa pejabat pribumi juga banyak yang terlibat dalam praktek ini.

Penyediaan tanah untuk digarap dibebankan kepada seluruh desa, bukan kepada penduduk secara individu sebagai pemilik tanah. Pemerintah kolonial Belanda beralasan hal tersebut untuk mempermudah dalam menanganinya. Akibat dari hal tersebut maka terjadilah perluasan tanah secara komunal (milik bersama), dan terjadi perubahan hubungan sosia di pedesaan. Kemudian tanah yang semua hanya diwajibkan 1/5 bagian, lalu kemudian meluas menjadi 1/3 bagian, lalu bagian, bahkan menjadi seluruh tanah desa. Akibatnya, tanah yang harus digarap petani semakin banyak, dan cuan kepada pemerintah Belanda maupun kepada penguasa lokal pun semakin banyak pula.

Penyelewengan yang terjadi selama puluhan tahun sejak pelaksanaan sistem tanam paksa mengakibatkan kondisi yang buruk bagi rakyat, khususnya para petani. Gelombang kelaparan akibat minimnya lahan pertanian dan ekspolitasi tenaga kerja di beberapa daerah banyak mengakibatkan kematian dan penderitaan. Cultuurstelsel memberikan gambaran sejarah awal praktek korupsi di tanah air kita tercinta, baik dari penjajah Belanda maupun penguasa lokal kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun