Mohon tunggu...
Muhammad RanggaNoor
Muhammad RanggaNoor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa biasa penyuka sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cultuurstelsel Belanda: Menyingkap Kesalahpahaman dan Penyelewengannya

16 September 2024   22:47 Diperbarui: 23 September 2024   10:13 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah Cultuurstelsel atau tanam paksa kerap dianggap sebagai salah satu paranoid dalam buku sejarah Indonesia. Ianya dianggap sebagai kambing hitam atas memburuknya perekonomian rakyat pribumi dan kelaparan yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia saat itu. Namun apakah benar tuduhan yang selama ini didakwakan atas kebijakan ini nyata adanya?

Pertama-tama mari kita ulas dulu nama kebijakan ini. Cultuurstelsel. Mungkin banyak dari kita yang menyangka bahwa arti dari nama tersebut adalah "tanam paksa". Namun nyatanya fakta ini salah. Cultuurstelsel berasal dari dua kata: cultuur dan stelsel. Cultuur berasal dari kata cultiveren yang berarti budidaya atau penanaman. Sedangkan stelsel berarti sistem. Jika digabungkan berarti "sistem budidaya" atau "the cultivation system" dalam bahasa Inggris. Jika ditarik secara lebih luas, cultuurstelsel berarti sistem budidaya tanaman pada zaman pendudukan Belanda di Indonesia (atau Hindia Belanda). So, tidak ada kata "paksa" sebenarnya jika ditinjau secara harfiah. Sangat berbeda dengan apa yang kita pahami selama ini.

Sekarang mari kita tinjau bagaimana kebijakan ini muncul dan berlangsung. Kebijakan ini bermula seiring dengan mulai mundurnya perekonomian VOC di akhir abad ke-18 karena berbagai masalah internal dalam tubuh VOC seperti praktik korupsi yang marak di kalangan para pegawainya. Akibat maraknya proses korupsi yang semakin menggerogoti tubuh VOC, Pemerintah Belanda pun membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Dan sejak 1 Januari 1800, pemerintah Belanda resmi mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.

Bubarnya VOC menyisakkan pekerjaan rumah bagi pemerintah kolonial Belanda. Salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah mengisi kas negara yang kosong. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama, Dirk van Hogendorp mengusulkan agar rakyat diberikan kebebasan untuk memilih jenis tanaman dan bebas untuk menjualnya. Penyerahan wajib kepada pemerintah dikemas dalam bentuk pajak yang berupa hasil bumi dan pajak uang perkepala. Pemerintah berharap dengan sistem ini rakyat menjadi lebih giat dalam menanam, dan mampu menghasilkan berbagai komoditi ekspor, seperti kopi, beras, lada, kapas, coklat, dll.

Kebijakan Hogendorp tidak berjalan dengan baik akibat masih kuatnya sistem feodal di Jawa, hingga Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berkuasa (1808-1811). Gubernur Jenderal Daendels menekankan pentingnya sentralisasi kekuasaan di bawah wewenang pemerintah pusat. Salah satu tindakan yang paling fenomenal Daendels ialah mengatur hubungan antara pemerintah kolonial dengan penguasa pribumi. Salah satu yang dampaknya adalah sistem penguasaan tanah. Tanah-tanah milik penguasa lokal menjadi milik negara. Para penguasa lokal yang semula adalah pemilik tanah, kini berubah menjadi penggarap di tanah-tanah pemerintah. Kebijakan ini mengakibatkan runtuhnya sistem feodal di tanah Jawa. Hal ini terjadi sampai kedatangan Inggris pada 1811 yang memperkenalkan sistem sewa tanah (landrente).

Pasca pendudukan Inggris pada tahun 1816, Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda. Awalnya, Belanda masih menggunakan sistem sewa tanah (landrente) seperti saat pendudukan Inggris. Namun sistem ini tidak berjalan dengan maksimal, sehingga gagal mendorong para petani untuk meningkatkan produksi tanaman komoditas ekspor mereka. Kebutuhan akan suatu kebijakan baru diharapkan dapat dengan cepat mengisi kekosongan kas negeri Belanda memang sangat mendesak. Keadaan perekonomian negeri Belanda saat itu memang sedang kacau. Untuk mengisi kekosongan kas Belanda inilah, Gubernur Jenderal Belanda saat itu, Johannes van den Bosch menggagas sistem cultuurstelsel ini pada tahun 1830.

Let's move into peraturan dalam kebijakan cultuurstelsel. Dalam Staatsblad tahun 1934 nomor 2 yang berisi ketentuan tentang cultuurstelsel adalah sebagai berikut:

1. Penduduk desa menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa (kopi, tembakau, nila, cengkeh, dll).

2. Tanah yang disediakan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa.

3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman yang ditentukan tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi dan komoditi pangan lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun