Berkunjung ke lampung tak lengkap rasanya kalau tidak berkunjung ke Waykambas atau tempat perlindungan gajah Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yang terletak di daerah Lampung tepatnya di Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, Indonesia.
Hutan Lindung sekaligus tempat konservasi hutan serta hewan di Taman Nasional Way Kambas adalah salah satu kawasan di ujung selatan Pulau Sumatera yang kaya akan keanekaragaman hayati terutama lima satwa kunci yaitu Badak Sumatra (Dicerorthinus sumatrensis), Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), Gajah sumatra (Elephan maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus) dan beruang madu (Helerctos malayanus)
Hanya berbekal informasi dan cerita seseorang dari website orang yang pernah mengunjungi Way Kambas saya rasa cukup untuk memberanikan diri mengunjung Way Kambas seorang diri.
Pertama kali menginjakan kaki di lampung saya langsung mencari penginapan murah yang berada di dekat Institute Teknologi Sumatra atau yang dikenal dengan ITERA yang akan menjadi salah satu kampus Terbesar di Indonesia yang berada di Jl. Terusan Ryacudu, Way Hui, Kec. Jatiagung, Lampung Selatan, Indonesia. Untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju Way Kambas di pagi hari menggunakan Transportasi umum,
Dari ITERA menuju terminal Rajabasa salah satu akses menuju Terminal Induk Metro. Karena tidak adanya transportasi langsung yang menuju Way kambas jadi harus ngecer, di terminal metro pun hanya disediakan beberapa kendaraan yang mengarah ke lampung timur.
Dari Terminal metro dilanjutkan perjalanan menuju Tridatu, dan turun di Patung Gajah, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan naik Ojek pangkalan warga setempat, tetapi saya mempunyai kenalan salah satu pawang gajah yaitu Pak Pal di Way Kambas yang sebelumnya sudah saya kabari dan saya pun dijemput oleh pak Pal.
Jalan beraspal masih panjang untuk disusuri. saya melaju masuk lebih jauh ke dalam hutan berkilo-kilo meter melihat pohon-pohon besar dengan angin yang sangat kencang dan melihat langsung Gajah liar yang membuat saya takut karena gajah liar adalah gajah yang belum tersentuh oleh manusia dan akan menyerang manusia bila didekatnya dan makin tak terbayang gimana keadaan didalamnya.Â
Sesekali saya disambut oleh monyet-monyet berekor panjang yang berserak di jalanan. Mereka bagian dari hutan tersebut. Pokoknya kalau kita masuk ke Way Kambas dan sudah bertemu dengan monyet-monyet ini, artinya kita sudah setengah jalan menuju Pusat Konservasi Gajah. di sini juga ada tempat pembudidayaan badak bercula satu, tapi tak dibuka untuk umum. Kalau mau lihat badak, ya, di Ujung Kulon saja.
Di sini kebetulan populasinya ada dan sangat dilindungi. Lembaga pengelolanya dipegang oleh lembaga swasta, International Rhino Foundation. Untuk mengunjungi badak butuh surat izin resmi dalam lembaga peneliti atau semacamnya. Jadi, mari kita fokus ke tujuan semula, mengunjungi gajah.
Tiba sore hari membuat saya harus beristirahat sejenak di mess pak Pall, yak, hanya ruangan petak kecil yang di dalamnya hanya ada colokan listrik dan Kasur Kapuk, sebenarnya disana disediakan pengiapan khusus tamu dengan harga Rp.200.000 / permalam, karena saya backpacker saya memutuskan menghemat uang saya. Sekaligus merasakan sebagai pawang disana. Â
Untuk Mahasiswa sebenarnya hanya membutuhkan biaya Rp,15.000 / Malam, tetapi harus membutuhkan surat tujuan mereka disana. Tak banyak keliling karena sudah gelap malam dan kebetulan saya memiliki logistik makanan yang cukup, akhirnya malam hari saya hanya didalam mess, karena malam hari diluar banyak sekali babi liar yang bermunculan mencari makan.
KEADAAN DAN SUASANA
Susasana hati saya sungguh baik pagi itu, langit biru cerah ditemani Kopi Hitam di pagi hari sembari melihat gajah yang sedang makan sambil bercanda dengan temannya juga melihat rusa dari kejauhan, menjadikan pagi yang akan selalu saya kenang.
Selepas sarapan, saya langsung meghampiri pak Pal yang saat itu sedang bersama dengan Gajahnya dan ingin memandikan gajahnya, awalnya saya takut untuk menghampiri dan memegang sang gajah, tetapi atas desakan pak Pal, akhirnya saya memberanikan diri, dan saya diajak memandikan gajah langsung di kolam buatan yang sangat besar.
Ada satu anak gajah yang punya belalai pendek sedang dirantai di samping sebuah pohon. saya karena masih kecil, belalainya masih pendek. Rupanya, gajah ini cacat. Belalainya putus saat ketemu perambah di hutan.Â
Kata Pak Sukowiyono, pawang gajah yang saya temui, gajah kecil ini tak sengaja tersesat di hutan dan ketemu perambah hingga belalainya putus. Dia bukan dari pusat konservasi, masih terbilang gajah liar. Oleh sebab itu, gajah kecil itu diselamatkan, dibawa ke pusat konservasi, dan dilatih.
Malam hari, saya mencoba keluar, dan bermain bersama mbak-mbak IPB tadi, dan kembali bertemu dengan dua mahasiswa Universitas Lampung (UNILA) yang sedang melakukan pengamatan tentang kelelawar yang ada di Way Kambas ini, mereka berhasil menemukan 10 lebih spesies kelelawar yang berada di Way Kambas.
Saya juga memberanikan diri bercengkrama dengan Babi Hutan, karena saya melihat dua mahasiswa ini juga bermain dengan babi hutan, tidak seseram apa yang dibayangkan, mereka berdua malah mengejar-ngejar babi hutan yang membuat gelak tawa kami yang sedang bertukar ilmu dan informasi.
Larut malam sekali akhirnya saya memutuskan untuk istirahat, karena esok hari saya harus bergegas meninggalkan Taman Nasional Way Kambas dan melanjutkan aktifitas saya kembali di Jakarta, sementara mereka akan menghabiskan bermingguminggu lagi disini
INFORMASI
Ternyata Taman Nasional Way Kambas ini adalah salah satu Taman Nasional Pertama dan Tertua di Indonesia, Way Kambas didirikan oleh Kompeni (Belanda) pada tahun 1937.Â
Menurut informasi yang saya dapatkan disini terdapat lebih kurang 200 ekor Gajah sumatera yang hidup di Taman Nasional Way Kambas ini. Jumlah yang terbilang cukup kecil jika dibandingkan dengan luas kawasan Taman Nasional ini yang mencakup 1.300 Km persegi dari hutan dataran rendah pantai sekitar Sungai Way Kambas di pantai timur Provinsi Lampung.Â
Jumlah 200 ekor itu masih belum bisa dipastikan karena penebangan hutan dan perluasan lahan perkebunan yang tak terkendali, akhirnya habitat Gajah Sumatera itu sendiri menjadi berkurang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H