Fase pembentukan kabinet baru dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf (Kabinet Indonesia Maju) serta bagi-bagi posisi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di parlemen baru saja usai.Â
Setelah Gerindra merapat ke pemerintahan, pemetaan kekuatan politik menunjukkan dominasi besar, dimana Gerindra dan koalisi partai pengusung Jokowi-Ma'ruf di parlemen kedepan dimungkinkan akan lebih lancar bekerjasama dengan pemerintah dalam memutuskan berbagai kebijakan.Â
Sementara di pihak oposisi, pihak yang terlihat berkomitmen sejak awal hanya PKS saja. PAN dan Demokrat tampak masih belum tegas menentukan posisi, meski kecenderungannya akan menjadi oposisi. Menjadi menarik kemudian untuk diprediksi, bagaimana nasib demokrasi Indonesia setidaknya untuk lima tahun kedepan?
Peran "Oposisi Jalanan" bagi Demokrasi
Dalam demokrasi, fungsi pengawasan kepada eksekutif secara formal memang ada pada legislatif untuk memastikan check and balances. Namun, bisa diprediksi fungsi tersebut sulit untuk berjalan dengan baik dalam lima tahun kedepan disebabkan gemuknya koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen, sementara kursi dari PKS sebagai oposisi hanya 8,21 % (50 kursi).Â
Kondisi tersebut mengharuskan perlu adanya alternatif skema pengawasan lain yang dilakukan untuk menjaga demokrasi Indonesia agar tetap sehat. Salah satu yang sangat mungkin menjalankan fungsi pengawasan tersebut adalah masyarakat sipil, khususnya mahasiswa.
Gerakan mahasiswa di Indonesia akhir-akhir ini mulai hidup kembali. Setidaknya dalam periode September 2019 telah terjadi serangkaian aksi mahasiswa untuk menolak beberapa perundang-undangan, baik yang akan dibuat ataupun revisi atas undang-undang yang telah ada, khususnya penolakan terhadap RUU KPK yang dinilai menciderai pemberantasan korupsi.Â
Tidak tanggung-tanggung, aksi ini dilakukan serentak di berbagai wilayah di Indonesia, dan menemui puncaknya pada Selasa, 24 September 2019 yang melibatkan belasan ribu orang, bertempat di Jalan Jalan Gatot Subroto, Jakarta yang dekat dengan gerbang utama Gedung DPR RI.Â
Meskipun terdapat beberapa tindakan anarkis yang berujung pada perusakan beberapa fasilitas umum seperti pagar DPR dan pembakaran Pos Polisi serta catatan tindakan represif aparat keamanan, aksi demonstrasi ini telah memberikan pelajaran berharga bagi demokrasi Indonesia bahwa masyarakat sipil mampu disatukan atas dasar isu dan kepentingan yang sama untuk menjadi "oposisi jalanan" yang melakukan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan. Â
Sebagai pembanding, fungsi pengawasan juga ditunjukkan oleh masyarakat Hong Kong dalam aksi demonstrasi menolak RUU Ekstradisi yang diajukan Hong Kong kepada China yang dinilai berdampak buruk bagi kebebasan penduduk Hong Kong.Â
Protes ini berjalan bahkan lebih lama dari aksi mahasiswa di Indonesia, yaitu sejak Februari 2019, hingga muncul aksi demonstrasi turun ke jalan pada Maret 2019.Â
Berbagai elemen turut berpartisipasi dalam aksi ini, diantaranya pelajar/mahasiswa, pekerja, dan para orang tua. Aksi demonstradi dikedua negara menunjukkan bahwa masyarakat sipil mampu melakukan fungsi pengawasan dengan metode "oposisi jalanan". Hanya yang perlu dievaluasi, dalam aksi-aksi demonstrasi, kualitas dari aksi baik dari segi penyelenggaraan maupun tuntutan perlu diperhatikan.Â
Penyelengaraan hendaknya agar tetap memperhatikan batasan yang telah diatur dalam undang-undang, yaitu tidak merusak fasilitas umum dan menganggu hak orang lain, serta kualitas tuntutan yang benar-benar pro terhadap kepentingan rakyat. Itulah ciri "oposisi jalanan" konstruktif yang dibutuhkan dalam pembangunan demokrasi.
Pemerintah Jangan Represif dan Anti Kritik
Lalu bagaimana seharusnya sikap kekuasaan, khususnya melalui aparat keamanan dalam menyikapi aksi demonstrasi agar tetap sejalan terhadap pembangunan demokrasi? Linz, Lipset, Diamond (1989) merumuskan tiga unsur penting dalam mengukur derajat demokrasi, yaitu penjaminan atas HAM, kebebasan sipil, dan adanya kompetisi.Â
Dalam konteks ini, baik demonstrasi di Indonesia maupun di Hong Kong, terjadi ketegangan yang tinggi antara massa aksi dan aparat keamanan. Aksi di Indonesia diwarnai oleh penyemprotan air dari water cannon, dan penembakan gas air mata oleh aparat keamanan yang menyebabkan setidaknya 254 mahasiswa sempat dirawat di beberapa rumah sakit, dan 11 diantaranya dirawat inap.Â
Bahkan setelahnya korban jiwa pun tak bisa dihindarkan, dua mahasiswa pendemo asal Kendari tewas serta satu bernama Alamsyah yang turut berdemo di depan Gedung DPR pun ikut tewas.Â
Di Hong Kong pun hampir serupa, bentrokan antar pengunjuk rasa dengan aparat terjadi, bahkan polisi sampai menembakkan peluru karet dan 150 gas air mata kepada para demonstran.Â
Kejadian ini menjadi pelajaran penting juga bagi kekuasaan agar mampu bersikap tepat dalam menyikapi aksi protes serupa di kemudian hari agar jangan sampai dengan dalil menjaga keamanan, ternyata unsur penting dalam mengukur derajat demokrasi yaitu penjaminan HAM dan kebebasan sipil jadi malah dilanggar. Kekuasaan baik di pemerintah maupun di parlemen dalam hal ini tidak boleh anti kritik, serta aparat keamanan pun jangan respresif.
Pada akhirnya, derajat demokrasi Indonesia akan semakin baik jika kedepan fungsi pengawasan, baik check and balances antar lembaga negara maupun pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai wujud dari kedaulatan, dapat dijalankan dengan adanya oposisi yang konstuktif. Aksi demonstrasi sebagai "oposisi jalanan" dapat menjadi salah satu pilihan efektif.Â
Sementara di pihak lain, kekuasaan pun jangan sampai menjadi represif dan cenderung anti kritik. Dengan demikian, lima tahun kedepan setiap keputusan politik yang dibuat, dimungkinkan akan berpihak pada kepentingan umum masyarakat, bukan hanya segelintir orang yang punya sumberdaya. Kehidupan berdemokrasi pun akan semakin baik.
Rangga Kusumo
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, Penerima Beasiswa Rumah Kepemimpinan Angkatan 7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H