Berbagai elemen turut berpartisipasi dalam aksi ini, diantaranya pelajar/mahasiswa, pekerja, dan para orang tua. Aksi demonstradi dikedua negara menunjukkan bahwa masyarakat sipil mampu melakukan fungsi pengawasan dengan metode "oposisi jalanan". Hanya yang perlu dievaluasi, dalam aksi-aksi demonstrasi, kualitas dari aksi baik dari segi penyelenggaraan maupun tuntutan perlu diperhatikan.Â
Penyelengaraan hendaknya agar tetap memperhatikan batasan yang telah diatur dalam undang-undang, yaitu tidak merusak fasilitas umum dan menganggu hak orang lain, serta kualitas tuntutan yang benar-benar pro terhadap kepentingan rakyat. Itulah ciri "oposisi jalanan" konstruktif yang dibutuhkan dalam pembangunan demokrasi.
Pemerintah Jangan Represif dan Anti Kritik
Lalu bagaimana seharusnya sikap kekuasaan, khususnya melalui aparat keamanan dalam menyikapi aksi demonstrasi agar tetap sejalan terhadap pembangunan demokrasi? Linz, Lipset, Diamond (1989) merumuskan tiga unsur penting dalam mengukur derajat demokrasi, yaitu penjaminan atas HAM, kebebasan sipil, dan adanya kompetisi.Â
Dalam konteks ini, baik demonstrasi di Indonesia maupun di Hong Kong, terjadi ketegangan yang tinggi antara massa aksi dan aparat keamanan. Aksi di Indonesia diwarnai oleh penyemprotan air dari water cannon, dan penembakan gas air mata oleh aparat keamanan yang menyebabkan setidaknya 254 mahasiswa sempat dirawat di beberapa rumah sakit, dan 11 diantaranya dirawat inap.Â
Bahkan setelahnya korban jiwa pun tak bisa dihindarkan, dua mahasiswa pendemo asal Kendari tewas serta satu bernama Alamsyah yang turut berdemo di depan Gedung DPR pun ikut tewas.Â
Di Hong Kong pun hampir serupa, bentrokan antar pengunjuk rasa dengan aparat terjadi, bahkan polisi sampai menembakkan peluru karet dan 150 gas air mata kepada para demonstran.Â
Kejadian ini menjadi pelajaran penting juga bagi kekuasaan agar mampu bersikap tepat dalam menyikapi aksi protes serupa di kemudian hari agar jangan sampai dengan dalil menjaga keamanan, ternyata unsur penting dalam mengukur derajat demokrasi yaitu penjaminan HAM dan kebebasan sipil jadi malah dilanggar. Kekuasaan baik di pemerintah maupun di parlemen dalam hal ini tidak boleh anti kritik, serta aparat keamanan pun jangan respresif.
Pada akhirnya, derajat demokrasi Indonesia akan semakin baik jika kedepan fungsi pengawasan, baik check and balances antar lembaga negara maupun pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai wujud dari kedaulatan, dapat dijalankan dengan adanya oposisi yang konstuktif. Aksi demonstrasi sebagai "oposisi jalanan" dapat menjadi salah satu pilihan efektif.Â
Sementara di pihak lain, kekuasaan pun jangan sampai menjadi represif dan cenderung anti kritik. Dengan demikian, lima tahun kedepan setiap keputusan politik yang dibuat, dimungkinkan akan berpihak pada kepentingan umum masyarakat, bukan hanya segelintir orang yang punya sumberdaya. Kehidupan berdemokrasi pun akan semakin baik.
Rangga Kusumo