"Saya laporkan kau kepada Tuan Besar," ancamnya walaupun itu sekadar gertakan, tetapi saya harus tetap waspada.
Jarak kami terpisah 4 meter. Hanya sedekat itu saya mampu berinteraksi, tak boleh neko-neko lagi. Suara tawa menggema dari luar perlahan membunuh hening di dalam ruangan. Nona Muda mendelik dan memutar langkah lewat bangku di sebelah kanannya, berharap agar cepat keluar dari ruangan cukup luas ini.
"Jangan mendekat!" pintanya, saya bergeming. Nona Muda pergi tanpa menoleh karena sibuk menyembunyikan rasa malunya.
Saya tahu, Nona Muda tak sungguh-sungguh melakukan itu. Namun realita menampar pipi saya sangat kuat.
Semuanya berantakan. Tak ada pertanyaan tentang Nona Muda dan jendela atau sekadar bertanya kabar. Saya memejamkan mata membiarkan penyesalan membelenggu hati dan pikiran. Sampai tersadar sepucuk surat itu tergeletak tak bertuan, disinari serpihan matahari yang menyorotnya agar dibaca.
***
Batavia, Festival Anggur Belgia
"Tjara menjemboenjikan kebohongan njatanja tak moedah. Saja kerap memikirkan Anda. Malam ini pergilah bersama saja. Ikoet ramai-ramai ke Festival Anggoer Beljia."
- Kani
Begitulah isi surat yang saya terima darinya. Nona Muda atau Kani tidak semengerikan siang tadi. Justru ia menyambut saya lalu memperkenalkan kepada tamu-tamu lain menggunakan bahasa kompeni yang secara harfiah tak bisa saya pahami.
Akhirnya kami berdiri di depan jendela lantai tiga. Tempat kesukaannya menatap dunia melalui mata rumah megah ini. Saya menelan ludah sewaktu rasa gugup mulai merambati tulang punggung, merasakan Kani menyandarkan kepala dan melingkarkan lengannya, sehingga menggerus jarak yang tadinya memisahkan kami.
"Kau tahu mengapa saya suka duduk di jendela ini?"