REFLEKSI PENANGANAN TEROR KELOMPOK SEPARATIS DI INDONESIA,Â
UNABLE OR UNWILLING ?
Oleh:
Rangga Afianto (Mahasiswa Doktoral Ilmu Kepolisian STIK-PTIK)
Domain Penindakan POLRI atau TNI ?
Eksistensi kelompok separatis yang ada di Indonesia menjadi polemik berkepanjangan yang tak kunjung usai. Sejarah mencatat bahwa keberadaan kelompok-kelompok ini seiring berjalannya waktu dalam konteks penanganannya terlihat berubah-ubah dari sudut pandang pihak berwajib yang berwenang untuk melakukan tindakan tegas terhadap upaya pemberantasan kelompok-kelompok tersebut, khususnya tarik menarik kewenangan antara TNI dan POLRI. Kedua alat negara tersebut secara hukum memiliki fungsi penegakan hukum, termasuk penanganan terror yang dilakukan oleh segala jenis dan bentuk dari kelompok-kelompok tersebut.
Pergeseran nomenklatur kelompok separatis yang ada di Indonesia baik di Poso, Papua, dan daerah lainnya  menjadi disrupsi bagi kewenangan penindakan yang dilakukan oleh instrumen penegakan hukum yang dimiliki pemerintah. Penindakan adalah bersumber pada hukum dimana turunan utama dari hukum positif terletak pada narasi penggunaan istilah atau tata bahasa yang dicantumkan oleh perundang-undangan maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Berbeda istilah, maka akan berbeda pula penggunaan hukum termasuk pada siapa yang paling berwenang dalam memimpin operasi-operasi penanganan teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis tersebut.
Dibutuhkan keseriusan dalam rangka harmonisasi antar kedua alat negara untuk penanganan melalui penindakan hukum yang tegas terhadap aksi teror kelompok separatis yang ada di Indonesia. TNI dan POLRI tentu memiliki spesifikasi dan kapabilitas masing-masing dalam konteks upaya penegakan hukum yang dilakukan. Permasalahan yang perlu diamplifikasi lebih lanjut titik beratnya adalah bukan pada siapa yang lebih dominan memiliki kemampuan taktis penegakan hukum, namun lebih kepada siapa yang memiliki kewenangan superior untuk memimpin segala operasi-operasi yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok tersebut baik dari sisi pembinaan (pre-emptif), pencegahan (preventif), sampai dengan penindakan (represif). Ketiga fungsi ini mutlak perlu dipimpin dan dikoordinasikan oleh satu leading sector yang ditentukan oleh hukum melalui kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Persoalan mengenai polarisasi kewenangan antara TNI dan POLRI dalam upaya penanganan kelompok separatis bersenjata yang ada di Indonesia secara lebih lanjut akan menyasar pada paradigma pertanyaan "Tidak Mampu" (UNABLE) atau "Tidak Mau" (UNWILLING). Â Kedua frasa ini memiliki pengejawantahan yang berbeda dalam konteks rasionalitas pengertiannya, berikut pula dengan hasil capaian yang diperoleh. Berlarut-larutnya persoalan mengenai terror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis kemudian menjadi suatu polemik berkepanjangan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan bangsa, terlebih implikasi citra keamanan Indonesia dalam pandangan dunia.
Kontekstual UNABLE atau UNWILLING sangat erat kaitannya dengan teori aksi-reaksi, dimana konflik hubungan antara pemerintah selaku pembuat dan pelaksana kebijakan yang menjadi reaksi terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis tersebut. Menyoroti perihal mengenai aksi-reaksi tersebut, perlu ditinjau dan dianalisis lebih dalam terkait kesiapan aparat penegak hukum kita untuk menghadapi aksi dari kelompok-kelompok separatis yang ada. Kesiapan berarti paripurna secara kemampuan teknis dalam hal penanganan baik dari sisi kombatan maupun non-kombatan, serta juga paripurna dalam hal infrastruktur/logistik yang digunakan untuk melakukan operasi-operasi yang direncanakan.
Seriuskah Pemerintah ?
Komplikasi dari permasalahan kelompok separatis yang tak kunjung usai ini menimbulkan pertanyaan bagi publik terkait apakah pemerintah melalui alat-alat penegakan hukum yang dimilikinya benar-benar serius melakukan penanggulangan serta upaya-upaya kontra separatis seperti halnya cita-cita penanggulangan terorisme dalam konteks pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan serta kesiapsiagaan nasional terhadap aksi-aksi yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut.
Permasalahan mengenai kelompok-kelompok separatis telah menjadi sebuah ekosistem di lingkungan aparat penegak hukum yang dimiliki pemerintah. Ekosistem dalam hal ini setidaknya mencakup 2 hal besar yaitu standar penugasan  (standard of deployment) dan standar kelengkapan persenjataan (standard of weaponry equipment).
Standar penugasan dapat kita lihat dari aktifnya TNI & POLRI dalam membentuk satuan-satuan penugasan khusus (SATGAS) yang secara khusus dan intensif melakukan penanganan pada kelompok-kelompok separatis yang ada melalui berbagai operasi khususnya. Operasi Camar Maleo, Operasi Tinombala, Operasi Mandago Raya, Operasi Nemangkawi, Operasi Damai Cartenz, dan sederet operasi-operasi lainnya menjadi catatan sejarah bahwa TNI-POLRI bergerak aktif dalam upaya penanggulangan terorisme terhadap aksi-aksi kelompok separatis tersebut. Namun pertanyaannya, mengapa konflik atas permasalahan kelompok separatis ini tak kunjung usai ?
Persoalan ekosistem selanjutnya adalah mengenai standar kelengkapan persenjataan, dimana untuk menjalankan operasi-operasi dari satuan penugasan tersebut mutlak membutuhkan pengadaan kelengkapan persenjataan serta biaya operasional yang tinggi. Tercatat kenaikan yang signifikan dan konsisten pada prosentase anggaran belanja TNI-POLRI dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2018-2023). Selain dari serapan untuk kebutuhan penanganan COVID-19 pada beberapa tahun terakhir, serapan untuk belanja kebutuhan kelengkapan persenjataan serta pelaksanaan operasi-operasi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (HARKAMTIBMAS) juga menjadi fokus alokasi belanja negara tersebut.
Eksistensi Konflik = Potensi Bisnis
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua hal dalam spektrum ekosistem diatas berjalan dengan dukungan industri pertahanan, termasuk didalamnya industri kelengkapan persenjataan. Melihat bahwa alokasi yang digelontorkan sangat besar, maka muncul dugaan spekulasi bahwa mungkin saja terdapat kepentingan-kepentingan pihak tertentu dalam spektrum industri diatas yang memang mendapatkan keuntungan dari konflik kelompok-kelompok separatis yang ada di Indonesia, sehingga dinamika konflik ini menjadi sesuatu yang dipertahankan eksistensinya. Teori ekonomi supply dan demand dalam hal ini diamplifikasi kedalam  teori aksi-reaksi dalam konteks upaya penanggulangan terorisme pada aksi yang dilakukan kelompok-kelompok separatis yang ada di Indonesia, sehingga membentuk suatu ekosistem industri untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Dari hal ini lah kemudian independensi pemerintah melalui keseriusan penanganan konflik tersebut diuji, karena taruhannya adalah harus berapa banyak lagi korban jiwa yang berjatuhan apabila eksistensi kelompok-kelompok separatis ini masih ada di bumi Indonesia. Akhir kata, kembali pada topik utama dalam tulisan ini, UNABLE atau UNWILLING? sebuah cambuk keras bagi pemerintah untuk dapat membenahi sistem penanganan dan penanggulangan konflik kelompok separatis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H