Seriuskah Pemerintah ?
Komplikasi dari permasalahan kelompok separatis yang tak kunjung usai ini menimbulkan pertanyaan bagi publik terkait apakah pemerintah melalui alat-alat penegakan hukum yang dimilikinya benar-benar serius melakukan penanggulangan serta upaya-upaya kontra separatis seperti halnya cita-cita penanggulangan terorisme dalam konteks pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan serta kesiapsiagaan nasional terhadap aksi-aksi yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut.
Permasalahan mengenai kelompok-kelompok separatis telah menjadi sebuah ekosistem di lingkungan aparat penegak hukum yang dimiliki pemerintah. Ekosistem dalam hal ini setidaknya mencakup 2 hal besar yaitu standar penugasan  (standard of deployment) dan standar kelengkapan persenjataan (standard of weaponry equipment).
Standar penugasan dapat kita lihat dari aktifnya TNI & POLRI dalam membentuk satuan-satuan penugasan khusus (SATGAS) yang secara khusus dan intensif melakukan penanganan pada kelompok-kelompok separatis yang ada melalui berbagai operasi khususnya. Operasi Camar Maleo, Operasi Tinombala, Operasi Mandago Raya, Operasi Nemangkawi, Operasi Damai Cartenz, dan sederet operasi-operasi lainnya menjadi catatan sejarah bahwa TNI-POLRI bergerak aktif dalam upaya penanggulangan terorisme terhadap aksi-aksi kelompok separatis tersebut. Namun pertanyaannya, mengapa konflik atas permasalahan kelompok separatis ini tak kunjung usai ?
Persoalan ekosistem selanjutnya adalah mengenai standar kelengkapan persenjataan, dimana untuk menjalankan operasi-operasi dari satuan penugasan tersebut mutlak membutuhkan pengadaan kelengkapan persenjataan serta biaya operasional yang tinggi. Tercatat kenaikan yang signifikan dan konsisten pada prosentase anggaran belanja TNI-POLRI dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2018-2023). Selain dari serapan untuk kebutuhan penanganan COVID-19 pada beberapa tahun terakhir, serapan untuk belanja kebutuhan kelengkapan persenjataan serta pelaksanaan operasi-operasi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (HARKAMTIBMAS) juga menjadi fokus alokasi belanja negara tersebut.
Eksistensi Konflik = Potensi Bisnis
Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua hal dalam spektrum ekosistem diatas berjalan dengan dukungan industri pertahanan, termasuk didalamnya industri kelengkapan persenjataan. Melihat bahwa alokasi yang digelontorkan sangat besar, maka muncul dugaan spekulasi bahwa mungkin saja terdapat kepentingan-kepentingan pihak tertentu dalam spektrum industri diatas yang memang mendapatkan keuntungan dari konflik kelompok-kelompok separatis yang ada di Indonesia, sehingga dinamika konflik ini menjadi sesuatu yang dipertahankan eksistensinya. Teori ekonomi supply dan demand dalam hal ini diamplifikasi kedalam  teori aksi-reaksi dalam konteks upaya penanggulangan terorisme pada aksi yang dilakukan kelompok-kelompok separatis yang ada di Indonesia, sehingga membentuk suatu ekosistem industri untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Dari hal ini lah kemudian independensi pemerintah melalui keseriusan penanganan konflik tersebut diuji, karena taruhannya adalah harus berapa banyak lagi korban jiwa yang berjatuhan apabila eksistensi kelompok-kelompok separatis ini masih ada di bumi Indonesia. Akhir kata, kembali pada topik utama dalam tulisan ini, UNABLE atau UNWILLING? sebuah cambuk keras bagi pemerintah untuk dapat membenahi sistem penanganan dan penanggulangan konflik kelompok separatis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H