Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bagaimana Mar Doyot Jadi Penulis

21 April 2022   16:17 Diperbarui: 23 April 2022   12:21 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Bukankah buku memang benda mati istriku?"

" Tepat sekali !" kata buna sari mengakhiri percakapan mereka siang itu. Sedangkan yang ditinggal bertambah bingung. sebab pertanyaanya tidak menemukan jawaban.

Mar doyot memikirkan kemungkina-kemungkinan yang bisa terjadi pada bukunya dan berakhir pada kesimpulan.

" Mungkin buku-buku itu memang hidup dan memiliki pikiranya sendiri "
Angin menggulung debu sampai ke teras rumah dimana mar doyot lumrah ada
" Baiklah kalo begitu aku akan mengarang buku ku sendiri" mar doyot berkata dalam nada optimis.

Buna sari mengumpulkan uang yang diperolehnya dari menjual buku bekas milik mar doyot, membeli mesin jahit dan menghadiahkan kepada mar doyot saat mar doyot berada pada puncak lamunanya di suatu siang yang panas.

" Apa yang sedang kau bawa itu istriku?" tanya mar doyot

" Itu buku mu" Jawab buna sari

" Tentu saja bukan istriku yang cantik, jelas jelas itu sebuah mesin jahit" katanya lagi

" Akhirnya kau menemukan otakmu kembali, hai ! mar doyot. Memang itu adalah mesin jahit, itu temanmu mulai sekarang. Kau sudah terlalu gila untuk jadi suamiku. Tidak usah banyak omong dan mulailah bekerja. Berhentilah mimpi bodoh seperti itu mar doyot, tau diri lah kau"

Buna sari memegang leher mar doyot seperti memegang mic untuk berorasi, teriakanya juga masih oke untuk ukuran orator yang lama vakum.


"Asal kau tahu saja aku memilihmu sebab kau mampu melindungiku dulu-dulu itu, bukan berarti aku mencintaimu" Buna sari menambahkan apinya seakan tak ingin kemarahannya padam begitu saja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun