Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Doa Nenek Moyang

15 April 2022   19:34 Diperbarui: 16 April 2022   22:45 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berdoa. (sumber: unsplash.com/@dani_franco)

Hamparan sawah yang luas-luas itu silih berganti; kuning keemasan, tanda siap panen. Padu-padan dengan hijau pohon pisang yang tak terhitung berapa sudah lewat, dan berapa lagi yang akan kami lewati. 

"Di sana aku temukan juga pada akhirnya,"

Perasaan ini yang aku cari-cari, rindu namanya. Dia bersembunyi dariku dalam diam, dalam penat pekerjaan, dalam berat cicilan dan dalam pedas caci maki.

Mengendarai ular besi ini, aku pulang. Pak, buk, sebentar lagi, sungguh tak akan lama, kereta kami akan tiba sore nanti. Tunggulah dengan tenang. Aku datang dengan menantumu. Cucu kalian juga turut serta.

Kata orang anak adalah titipan, aku tidak setuju. Bagi kami anak adalah anugerah dari tuhan. Sebab kami yang memintanya, dan tuhan telah sependapat dengan kami, maka dari itu cucu kalian lahir.

Cucu kalian sudah cukup besar sekarang ini, setidak-tidaknya sudah mampu mengetahui keadaan dirinya sendiri. Ia sudah tahu mencari di mana letak air susunya, pelepas dahaganya dan sumber kedamaianya. 

Sudah tahu cara menyenandungkan tangis yang beraneka. Bagaimana menangis kantuk, menangis lelah, manja ingin perhatian, rasa tidak nyaman, atau sekedar ingin digendong dan haus akan asi itu sendiri.

Sungguh dari cucumu kami belajar bercermin. Pantulanya yang murni dan tidak dibuat-buat itu, boleh jadi yang membuat kami gamblang membacanya. Perasaannya tajam dan terus terang, tidak butuh tawar menawar. Sungguh kejujuran yang sejati, dan sejatinya kemurnian.

Sebab kemurnian perasaannya itu, kami sesekali tertolong. Dia kadang terlihat gusar dan ingin melompat pergi saat orang menggendongnya atau sekedar ingin menggendongnya.

Belakangan kami ketahui bahwa ternyata cucumu tahu bagaimana sejatinya pendalaman seseorang. 

Pendalaman yang bagi kami orang dewasa anggap lumrah saja. Getaran batin yang tidak kentara itu dapat diekspresikan jelas oleh mimik muka-nya. Demikianlah jadinya kami dapat membaca sifat-sifat seseorang berkat cucu kalian itu.

Awalnya kami heran mengapa seorang bayi dapat berlaku seperti itu dan kami yang jelas-jelas lahir lebih awal tidak. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata ada benarnya.

Orang dewasa tumbuh lebih pintar, maka dari itu keinginanya juga senantiasa bertumbuh, tuntutannya apalagi. Sedangkan bayi yang masih suci sekedar butuh rasa aman, kenyang dan nyaman.

Sebab kepintarannya, orang dewasa bisa saja melakukan hal-hal buruk demi rasa aman, perut kenyang dan kenyamanan dengan tanpa menunjukan gelagat mencurigakan.

Sedangkan bayi hanya tahu menangis dengan senandung yang berbeda. Dan memang perbedaan itu yang membuat kami tahu, apa sebenarnya keinginanya.

Oh! Entahlah, pak, buk. Sudah berapa kali aku bertemu orang-orang semacam itu. Bermuka datar seakan - akan tidak ingin apapun dari kami namun bertindak seperti semuanya milik mereka.

Rasanya aku ingin menghukum mereka sejadi-jadinya. Seperti kantuk yang meranjingi orang begadang. Seperti kalut orang yang menganggap enteng masalah. 

Seperti masalah yang menyerbu orang yang ikut campur. Seperti pidana bagi orang yang bersalah, dan Seperti penyakit yang mendera orang-orang yang abai dengan kesehatanya sendiri. 

Tapi kuketahui itu diluar dayaku. Hanya tuhan yang punya daya demikian, manusia tidak. Manusia hanya punya upaya. Sebab itu, aku berupaya mencari rindu, membalas kerinduanku ini dengan pulang. Pulang ke kampung halaman.

Bukan untuk lari. Karena lari hanya diperuntukan bagi orang-orang pengecut. Dan aku bukan salah satunya".

Kereta tiba di stasiun tepat waktu. Dan mereka berjalan mencari tumpangan pada siapa saja. Naik apa saja boleh lah, asal harganya cocok dan mampu mengantar mereka dengan selamat sampai rumah.

***

atsar.id
atsar.id

"Anakku jadilah bapak yang baik bagi cucu kami, bukan dengan cara yang lumrah, namun dengan cara yang baik."

Sebab lumrah itu bikinan manusia, sedangkan baik adalah tuhan yang menetapkan, semenjak sebelum adam turun ke bumi.

Berbaktilah pada yang kekal dan kekal-lah dalam kebaktian itu sendiri. 

Tuhan maha kekal sedangkan manusia hanya tawakal.

Tidak apa sebentar gusar asal tetap berpedoman pada akal.

Wahai anak-ku, kami tidak lagi berdaya memberimu bekal, sudah selayaknya kalian menjaga ikhrar.

Yang terjadi terjadilah, yang kau punya perjuangkanlah, yang kau ingin upayakanlah.

rasa aman, perut kenyang dan kenyamanan".

Mereka keluar dari pekuburan yang dingin dan sunyi. Melihat cucunya dalam rengkuhan istri dari anaknya. Hanya melihatnya tanpa mampu berbuat apa-apa.

Sama seperti anaknya yang sedang menabur bunga itu, tidak mampu berbuat apa-apa untuk mereka, walau sekarang dia hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun