Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kidung Rohmati

28 Maret 2022   11:36 Diperbarui: 28 Maret 2022   13:01 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam hari yang cerah dan tenang, uap-uap air berkelahi dengan udara dan melemparkannya pada daun-daun, tembok, jendela kaca dan apa saja yang disapa dingin menjadi embun.

Selepas sembahyang subuh; pagi itu begitu dingin.

Saya tahu saya seharusnya pergi mandi dan lekas meringankan beban kalut, membantunya mengemas kue-kue.

Walau memperlakukan saya begitu kasar belakangan ini, kalut tetaplah simbok saya.

Saya tahu bukan kehendaknya berlaku demikian, kalut hanya tak mampu menutup telinga dari suara-suara yang mengambil kuasa.

Namun pagi itu selimut menarik saya untuk memeluknya kembali. Selimut berkata bahwa sudah sewajarnya manusia membagi kehangatan pada benda mati bukan sebaliknya.

" Manusia punya darah yang dipompa terus-menerus di dalam tubuhnya sehingga mencipta panas tubuh, sedangkan benda mati tidak." kata selimut

Benda mati tetap dingin saat dingin, panas saat panas, basah saat tercelup air atau tergenang embun-embun dan kering saat tertiup angin. Saya jadi kasihan dengan selimut dan guling. Memang dari malam sudah dingin dan dengan datanganya embun semakin iba perasaan saya pada mereka.

" rohmati !"

panggil kalut

" rohmati !!" kalut berteriak 

Saya tahu panggilan itu untuk saya, dan saya tahu seharusnya saya segera melompat dari kasur menghampaskan pelukan selimut. Tapi saya tidak melakukannya, Saya ingin memberi contoh pada kalut bagaimana menutup telinga dari suara-suara. Suara-suara kadang benar tapi banyak juga salahnya.

Suara-suara itu buta, tidak melihat keadaan yang di perolok. Suara-suara itu besar gengsi bercuap-cuap mengajak diri membina bakti sampai lupa dimana sedang berdiri. Tak perlu lah menuruti hal konyol seperti itu. 

Di luar embun tak kunjung kering, walau keadaan ekonomi kami renyah seperti kerupuk, tak kenyang dimakan sendirian tanpa nasi.
Sejak bapak pergi, kalut tak perlu memikirkan satu porsi piring lagi, walau begitu, nyatanya perut kami tetap tidak malih kenyang.

Suara kalut tidak terdengar lagi, mungkin bosan berteriak-teriak.
Memang kalut sudah bosan hidup susah, walau saya tak begitu mengerti kenapa.
Kalut sering menangis saat sembahyang dan semakin menjadi saat menerima panggilan telfon dari bapak.
Kalut tidak pernah bercerita pada saya, hanya pada selimut dan gulling saat hendak tidur.

Selimutnya sering basah, dan saya terpaksa memilih bagian yang kering walau sedikit.

Kini embun sudah kering tapi selimut semakin basah 

Memang saya sedang memejamkan mata pagi itu dan rupanya saya tak mampu membukanya kembali, dan sejak saat itu saya tidak pernah merasa lapar. Padahal biasanya saya sudah menangis minta nasi. 

Saya menyaksikan selimut saya menjadi merah dan kalut di sebelahnya menyanyikan kidung dengan belati sebagai mikrofonnya


Kidung yang begitu menyayat hati. Walau saya tidak mampu mendengarnya, hati saya sudah tergetar melihatnya.

Kidung ciptaan Kalut, judul kidung rohmati

Selimut darah
Seandainya dapat kau sembunyikan penderitaan ini
Tak perlulah engkau menjadi merah
Selimut darah
Andai guling dapat menggelinding
Ingin aku turutkan kesepianku ini padamu
Bukan mengelindingnya kepala anakku
Selimut darah

sendainya dapat ku kirimkan kau padanya
Ku utus kau untuk menjerat leher suamiku

Ketika kalut menyanyikan kidungnya itu, saya tidak mendengarnya. Begitu pun saat sirine polisi membawanya pergi, saya tidak mendengarnya.

Saya hanya mendengar suara malaikat 

Dan saya berkata

" Saya telah berjasa membantu kalut lepas dari keterasingannya

Membantu beliau terkenal dengan kidung-nya yang menyayat itu.

Saya menagih surga pada tuhan" malaikat pergi sambil memberikan salam hormat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun