Mohon tunggu...
Randy Septian
Randy Septian Mohon Tunggu... -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Peran Media dalam Isu Sensitif “Pencatutan Nama Presiden” oleh Ketua DPR RI Setya Novanto

15 Desember 2015   05:13 Diperbarui: 15 Desember 2015   09:35 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, Indonesia dihebohkan dengan isu pencatutan nama presiden yang diduga dilakukan oleh ketua DPR Setya Novanto.  Hal tersebut muncul karena laporan dari Menteri ESDM Sudirman Said. Seperti yang kita ketahui di televisi bahwa menteri tersebut melaporkan Setya Novanto kepan Mahkama Kehormatan Dewan (MKD) atas pelanggaran kode etik karena diduga menyalahgunakan jabatannya sebagai ketua DPR untuk bertemu dengan pemimpin perusahaan Freeport untuk kepentingan perpanjangan kontrak perusahaan tersebut yang rencana akan habis pada tahun 2021. Tentu saja hal ini menjadi isu yang sangat sensitif karena dalam rekaman percakapan yang direkam oleh Bos Freeport tersebut, Setya Novanto melibatkan beberapa nama penting diantaranya adalah nama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Kasus tersebut tentunya menjadi pusat perhatian bagi beberapa media Indonesia karena hal tersebut merupakan kasus yang berhubungan dengan aset negara. Banyak kalangan menilai perbuatan yang dilakukan oleh Setya Novanto merupakan pelanggaran yang berat dan harus diberikan sanksi yang sesuai dengan perbuatannya. Namun, jika kita melihat keberlanjutan dari kasus tersebut, sampai sekarang ini belum menemui titik terang. Hal ini diduga karena adanya berbagai kepentingan politik yang melatar belakangi sehingga kasus ini menjadi rumit. Berbagai dalil yang dilakukan oleh Setya Novanto untuk membela diri. Salah satunya adalah pelanggaran hak privasi karena Beliau menilai bahwa perekaman yang dilakukan oleh Bos Freeport itu dilakukan secara ilegal sehingga menimbulkan masalah jika dibawa ke ranah hukum.

Secara etika tentunya hal tersebut memang salah, karena telah melanggar hak privasi seseorang, namun jika kita melihat posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR dan topik yang dibahas atau dibicarakan tentunya tidak akan salah jika masyarakat ikut mempertanyakan maksud dan tujuan dari permbicaraan tersebut karena hal ini berhubungan dengan kepentingan Negara. Hal yang sama juga yang mungkin ada dipikiran beberapa pekerja media di mana mereka menganggap bahwa isu yang muncul ini adalah isu yang sangat sensitif karena memiliki hubungan dengan berbagai pihak. Tentunya akan sangat menguntungkan jika media tersebut mengangkat isu yang sedang menjadi trending topik baik dikalangan para politikus maupun warga masyarakat.

Jika kita melihat sekarang ini, berbagai media berlomba untuk memberitakan kasus ini tentunya dengan sudut pandang mereka masing-masing. Pentingnya kasus ini untuk diketahui oleh masyarakat mendorong media untuk memberitakan peristiwa tersebut secara lebih luas. Banyak isu terkait Setya Novanto sebelumnya yang diangkat kembali oleh media untuk memperkuat spekulasi bahwa ada permainan yang dilakukan oleh Setya Novanto yang bisa merugikan bangsa Indonesia. Banyak media yang mengemas pemberitaan Setya Novanto melalui berbagai aspek. Salah satunya adalah Metro TV yang banyak memuat berita tentang kasus tersebut. Jika kita memperhatikan berita yang disiarkan oleh Metro TV, kita banyak melihat bahwa banyak narasumber yang dirahasiakan. Hal ini yang menimbulkan banyak pertanyaan bagi beberapa pihak khususnya pihak yang membela Setya Novanto. Jika dilihat dari aspek Jurnalistik, tentu hal tersebut tidak menjadi masalah karena salah aspek jurnalisme adalah merahasiakan identitas narasumber. Media memiliki hak untuk merahasiakan identitas narasumber jika hal tersebut dianggap dapat membahayakan keselamatan narasumber. Apalagi jika kita melihat bahwa isu ini sangat erat dengan kepentingan politik sehingga akan sangat bahaya jika hal tersebut berkaitan dengan beberapa elit politik.

Hal tersebut menjadi suatu dilema di mana bagi beberapa orang dapat mempertanyakan mengenai aspek tersebut berkaitan dengan kebenaran dan upaya untuk memanipulasi berita. Beberapa media sering dituduh turut mengobarkan kebencian dan konflik melalui media. Apalagi sekarang ini tidak dapat kita pungkiri bahwa beberapa perusahaan media massa di Indonesia telah terpengaruhi oleh kepentingan politik di mana beberapa pemilik dari media tersebut adalah petinggi partai politik sehingga tidak dapat kita pungkiri dalam beberapa pemberitaan yang dilakukan terdapat unsur konflik kepentingan di dalamnya. Seperti kita tahu bersama bahwa Setya Novanto berada dalam koalisi Merah Putih di mana memilik pandangan yang berbeda dengan partai Nasdem dipimpinan Surya Paloh yang adalah Pemilik stasius Metro TV. Tentunya aroma konflik kepentingan sangat besar karena kedua orang tersebut berada pada pihak yang berseberangan. Hal ini dapat terlihat dari beberapa narasumber yang dihadirkan oleh Metro TV dalam beberapa acara talkshow di stasiun tersebut. Metro TV lebih sering menghadirkan narasumber yang merupakan lawan politik dari Setya Novanto dalam pemerintahan. Salah satu contohnya adalah Ruhut Sitompul salah satu anggota DPR dari partai Demokrat yang berseberangan dengan Setya Novanto.

Dengan memunculkan narasumber yang memiliki kepentingan politik berbeda dengan Setya Novanto tentunya akan sangat mudah untuk membangun opini publik yang kurang baik mengenai Setya Novanto. Semua orang tahu peran media salah satunya adalah membentuk opini. Membentuk opini dalam situasi konflik tentunya akan sangat menguntungkan salah satu pihak. Namun media jangan melupakan mengenai prinsip keadilan di mana semua diperlakukan sama. Dalam hal ini Setya Novanto walaupun dalam politik memiliki posisi yang berseberangan namun dalam media juga harus diberikan porsi yang sama dalam memberikan statement sehingga tidak terlihat bahwa media tersebut ditumpangi oleh kepentingan politik walaupun dalam kenyataannya sekarang ini hal tersebut susah untuk dilakukan.

Berbicara mengenai objektivitas suatu media untuk saat ini rasanya akan begitu sulit karena seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa beberapa pemberitaan telah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Media sekarang ini sangat mudah untuk dipengaruhi karena media sekrang ini lebih mengarah kepada industri media di mana ada beberapa pihak yang dapat mempengaruhi isi atau pemberitaan dari media tersebut. Beberapa diantaranya yang dapat mempengaruhi isi dari media tersebut adalah pemiliki media dan iklan. wartawan tidak dapat sepenuhnya lagi dikatakan objektif karena harus menyesuaikan dengan kinerja atau aktivitas media tersebut, termasuk gaya pemberitaan sehingga wajar jika kita melihat pemberitaan mengenai kasus Setya Novanto sangat gencar diberitakan oleh Metro TV.

Jika kita melihat perkembangan kasus tersebut sampai sekarang ini masih menimbulkan banyak pertanyaan. Kita belum tahu siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. oleh karena itu media sangat berperan penting agar masyarakat mendapat kejelasan mengenai keberlanjutan kasus tersebut. Selain itu masyarakat mendapatkan informasi mengenai semua hal yang berkaitan. Karena jika kita berbicara mengenai politik maka akan sangat luas. Masyarakat dapat menilai perilaku elit politik yang menanggapi kasus ini melalui media sehingga untuk kedepannya masyarakat menjadi tahu untuk mengambil sikap melalui pemilihan umum. Namun informasi yang diterima melalui media juga harus jelas karena informasi yang benar mencerahkan kehidupan masyarakat dan mampu membantu menjernihkan pertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat. Informasi yang tepat menjadi sarana pendidikan yang efektif. Selain itu informasi yang benar menghindarkan salah paham dan menjadi sarana penting untuk menciptakan perdamaian.

Walaupun nantinya Setya Novanto terbukti bersalah setidaknya kita tahu bahwa media objektif dalam memberitakan perkembangan kasus tersebut tidak ada unsur atau etika jurnalistik yang dilanggar. Contohnya hasil persidangan Setya Novanto yang dilakukan secara tertutup bisa muncul di media. tentunya hal ini menjadi pertanyaan bagaimana cara media tersebut mendapatkannya. Kita tidak tahu apakah media tersebut bekerja sama dengan salah satu hakim yang turut mengadili Setya Novanto atau tidak. Tentu cara seperti ini dapat dipertanyakan karena sesuai dengan keterangan salah satu Hakim, persidangan tertutup adalah permintaan dari Setya Novanto tentunya karena berbagai alasan yang mungkin dianggap privasi sehingga tidak dapat diketahui oleh pihal luar, namun hal tersebut bocor dan tersebar di media. tentunya kita dapat mempertanyakan cara media mendapatkan rekaman persidangan tersebut apakah itu dilakukan secara legal atau tidak.

Beberapa kali memang kita sering menjumpai wartawan yang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan suatu berita yang dianggap sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat walaupun terkadang cara yang mereka lakukan itu belum tentu benar secara etika. Karena walaupun media adalah salah satu sumber informasi tetapi media juga harus bisa menjaga hak privasi seseorang. Hal ini yang sering menimbulkan dilema bagi beberapa wartawan di mana mereka harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak demi kepentingan banyak orang. Hal ini juga yang mungkin dipikirkan oleh media dalam mengawal kasus Setya Novanto tersebut. Di mana kita ketahui bahwa banyak kalangan baik warga masyarakat maupun pengamat politik yang mengatakan bahwa kasus atau persidangan yang dilakukan oleh Mahkama Kehormatan Dewan harus transparan agar tidak ada muatan politik atau konflik kepentingan yang dapat menghambat kasus ini. walaupun cara yang dilakukan mungkin sedikit kurang tepat namun dampaknya akan sangat baik bagi kepentingan masyarakat karena masyarakat menjadi tahu hasil pembicaraan yang disampaikan.

Tentunya informasi yang seperti ini harus benar-benar mengarah untuk kepentingan masyarakat bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena dalam cara berpikir industri seperti yang dialami oleh media sekarang ini, suatu informasi pertama-tama dianggap sebagai barang dagangan. Sehingga akan menjadi rancu jika upaya yang dilakukan oleh media melalui kasus Setya Novanto ini hanya semata-mata untuk mencari keuntungan dan melupakan tujuan utama sebagai penyedia informasi yang benar dan transparan. Sebagaimana kita tahu bahwa kasus ini memiliki nilai jual yang tinggi karena turut melibatkan beberapa nama penting dalam kursi pemerintahan. Oleh karena itu sebagai seorang jurnalis harus mengutamakan kebenaran dari pada kepentingan untuk mencari keuntungan. Seperti yang dikatakan Mark Twain bahwa pekerjaan sebagai Jurnalis adalah untuk memberitakan kebenaran.

Betapa pun prioritas pada orientasi keuntungan, suatu media masih tetap membutuhkan legitimasi yang hanya bisa didapat bila ada manfaat publik. jadi tidak sepenuhnya dapat dikatakan bahwa media yang berada dibawah kontrol pemerintah hanya melayani pemerintah dan media swasta tidak sepenuhnya hanya melayani kepentingan pemodal. Ada tiga alasan yang menyanggah pernyataan itu. Pertama, media swasta butuh mempertahankan kepentingan audiens agar tetap menguntungkan. Kedua, mereka harus mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat. Ketiga, mereka dapat dipengaruhi oleh keprhatinan profesional dari staf redaksi atau produksi (Haryaatmoko, 2007:73). Oleh karena itu media tidak dapat selalu berpegang pada kepentingan perusahaan namun juga harus memikirkan dalam hal pelayanan publik.

Jika kita melihat akibat dari kasus ini keprofesionalisme pemerintah tengah menjadi sorotan utama. Pemerintah di tuntut untuk mengambil keputusan secara cepat. Dalam hal ini, MKD harus bisa secara cepat mengambil keputusan secara cepat mengenai nasib Setya Novanto terkait dengan sanksi yang akan diterima. Resikonya ialah munculnya kecenderungan untuk mengabaikan prosedural demokratik. Oleh karenanya pemerintah dituntut untuk dapat mengimbangi kelemahan dibidang prosedural. Sebab itu media diharapkan menyediakan saluran komunikasi antara pemerintah dan masyarakat untuk membantu menjelaskan tujuan, merumuskan kebijakan, dan mengkordinasikan aktifitas.

Sekarang ini pemerintah dihadapkan dalam situasi yang dilematis akibat dari kasus Setya Novanto ini. disatu pihak, cepatnya arus informasi dalam hal ini opini para pengamat politik dan masyarakat yang muncul di media, menuntut pemerintah mengambil keputusan cepat. Disisi lain, legitimasinya membutuhkan konsultasi yang lebih luas yang berarti membutuhkan waktu lebih panjang seperti yang terjadi sekarang ini dalam sidang yang dilakukan oleh MKD. MKD memerlukan waktu yang panjang untuk memproses kasus Novanto sementera desakan yang begitu besar dari masyarakat agar Novanto segera dijatuhi sanksi. Dalam situasi seperti ini, komunikasi efektif dengan masyarakat melalui media massa menjadi semakin penting bagi pemerintah dan politisi untuk mendapatkan persetujuan akan setiap langkah dan keputusan yang akan mereka ambil.

Menjamurnya sarana media langsung dirasakan baik oleh ppemerintah maupun politisi karena menambah ketidakpastian mengenai pesan politik yang mereka sampaikan apakah sepenuhnya disampaikan oleh media terutama bagi media yang telah ditumpangi oleh kepentingan politik salah satu pihak. Politisi akan sulit untuk meramalkan respon apa yang akan diberikan oleh masyarakat terkait dengan pesan politik yang mereka sampaikan. Nilai berita sekarang ini telah mengalami perubahan dengan mengikuti apa yang dimaksud denga logika waktu pendek. Pemerintah dan politisi harus berjuang dengan keras agar pesan yang disampaikan sesuai dengan istilah atau maksud yang mereka inginkan. Dalam hal ini, Novanto harus berjuang keras untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa dirinya tidaklah bersalah. Sementara jika kita melihat, toleransi media khususnya Metro TV lebih memihak kepada posisi yang bersebrangan dengan Setya Novanto sehingga opini kritis masyarakat, kelompok LSM, maupun pengamat politik sering mendapat porsi yang lebih dalam setiap pemberitaan yang dilakukan oleh Metro TV.

Jika kita melihat adanya keluhan dari pihak yang membela Setya Novanto, penyataan mereka akan disalahtafsirkan oleh media atau media tidak melaporkan kebenaran tetapi mendistorsikan berita demi kepentingan mereka sendiri, harus disadari bahwa posisi Setya Novanto dalam kasus ini sangat tidak diuntungkan. Beberapa pernyataannya sering diputarbalikan atau model presentasinya yang dapat memberikan kesan lain, atau penggunaan bahasa yang dapat menimbulkan salah paham. Sekarang ini, kecenderungan simpati media terhadap politisi agak sedikit berkurang. Terlebih lagi bagi para politisi yang memiliki posisi berseberangan dengan pemilik media tersebut yang juga adalah seorang politisi. Ada empat alasan menurut Blumler mengapa sampai hal itu terjadi.

Pertama, meningkatnya skeptisme terhadap pernyataan pemerintah atau politisi karena publik tidak ingin menganggap penyataan mereka bisa dipahami secara harfiah. Kecenderungan pada pembelaan diri sangat mewarnai pernyataan mereka. Jika kita melihat semua pernyataan Setya Novando sarat akan pembelaan diri. Dilain pihak, banyak orang yang beranggapan bahwa Setya Novanto sudah terbukti bersalah melalui bukti rekaman yang telah tersebar di media. Hal ini semakin membuat masyarakat kehilangan rasa kepercayaan kepada Novanto akibat sikap yang sering dia munculkan di media. beberapa opini masyarakat menyatakan bahwa sebaiknya Novanto mengundurkan diri dan mengakui semua kesalahannya, namun yang terjadi adalah hal yang berbeda di mana Novanto tetap teguh dengan segala dalil yang bisa membuat dirinya seolah tidak bersalah dan memposisikan diri sebagai korban.

Kedua, wartawan tidak senang terhadap upaya politisi untuk mengatur berita demi kepentingan berita. Maka dari itu wartawan sering menetralisir dengan memasukan suara kritis mereka. ini yang sering terlihat jika ada talkshow di stasiun televisi beberapa narasumber yang dihadirkan biasanya berusaha untuk mengalihkan isu sehingga terkadang moderator beberapa memberikan pertanyaan yang menjebak atau menanggapi pernyataan narasumber tersebut dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Ketiga, meredupnya pesona situasi politik. Penayangan konflik partai, pemerintah dengan perlemen, aktivitas mereka sudah kehilangan daya tarik karena biasanya tidak ada lagi yang baru dan cenderung bisa diramalkan kelanjutannya. Carut marut dunia politik Indonesia diawal pemerintahan presiden Jokowi akibat adanya koalisi membuat banyak masyarakat yang telah hilang kepercayaannya terhadapa para politisi. Terutama bagi Setya Novanto, akibat beberapa aktivitasnya yang meimbulkan kontroversi sehingga membuat masyarakat tidak lagi memiliki kepercayaan terhadapnya.

Keempat, disatu sisi, kesadaran akan haknya sebagai warga negara telah mengembangkan tuntutan akan hidup pantas dalam berbagai bidang (kerja, kesehatan, pendidikan, transportasi umum, lingkungan). Disisi lain, banyak masalah darituntutan mereka yang tidak dapat diselesaikan dengan cepat oleh politisi. Mereka hanya dapat memperbaiki secara pelan dan dalam jangka waktu yang lama. Kesenjangan antara harapan dan kondisi ril ini memungkinkan kelompok penekan mendapat kesempatan untuk mempublikasian perjuangan, nilai, dan tuntutan mereka di media. Kinerja kurang memuaskan yang ditunjukan oleh para anggota DPR tentunya menjadi hal yang sensitif dikalangan masyarakat. Tidak heran jika ada anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi atau yang berhubungan dengan kepentingan diri sendiri akan menjadi sorotan masyarakat. Dalam beberapa potongan percakapan tercantum beberapa pernyataan mengenai memperkaya diri sendiri dengan membeli berbagai barang mewah. Hal tersebut tentunya mengundang kemarahan masyarakat karena perbuatan tersebut dianggap sangat merugikan negara yang mana disatu sisi belum meratanya pembangunan disegala bidang yang membuat masyarakat masih susah untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Oleh karena itu penting bagi suatu media memiliki idealisme sehingga media selalu dapat memberikan berita yang benar tanpa adanya konflik kepentingan dari luar media itu sendiri. Etika komunikasi juga penting untuk menjamin hak berkomunikasi di ruang publik dan hak akan informasi yang benar. Etika komunikasi bukan hanya masalah kehendak baik wartawan maupun para pelaku komunikasi yang terlibat dalam suatu pemberitaan, tetapi juga msalah etika institusional yang berupa Undang-Undang dan hukum.  Harus diakui bahwa hati nurani wartawan dan deontologi profesi belum cukup tangguh untuk menghadapi determinisme ekonomi dan teknologi, serta masih sangat rentan terhadap konspirasi, desinformasi, dan berbagai bentuk manipulasi. Regulasi publik ini bukan bukan pertama-tama untuk membatasi kebebasan berekspresi, tetapi untuk memperkuat deontologi profesi, mengangkat kredibilitas media dan pada akhirnya menjamin masyarakat untuk memenuhi haknya akan informasi yang benar. Jadi, etika komunikasi mau memecahkan dilema antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab media sebagai instalasi pelayanan publik.

 

 

Referensi:

  • Bivins, Thomas. H. 2004: Mixed Media, Moral Distinctions in Advertising, Public Relations, Mahwa: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.
  • ­Haryatmoko, 2007: Etika Komunikasi. Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Jakarta: Kanisius.
  • Haryatmoko, 2003: Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Kompas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun