Mohon tunggu...
Randy Septian
Randy Septian Mohon Tunggu... -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Peran Media dalam Isu Sensitif “Pencatutan Nama Presiden” oleh Ketua DPR RI Setya Novanto

15 Desember 2015   05:13 Diperbarui: 15 Desember 2015   09:35 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa pun prioritas pada orientasi keuntungan, suatu media masih tetap membutuhkan legitimasi yang hanya bisa didapat bila ada manfaat publik. jadi tidak sepenuhnya dapat dikatakan bahwa media yang berada dibawah kontrol pemerintah hanya melayani pemerintah dan media swasta tidak sepenuhnya hanya melayani kepentingan pemodal. Ada tiga alasan yang menyanggah pernyataan itu. Pertama, media swasta butuh mempertahankan kepentingan audiens agar tetap menguntungkan. Kedua, mereka harus mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat. Ketiga, mereka dapat dipengaruhi oleh keprhatinan profesional dari staf redaksi atau produksi (Haryaatmoko, 2007:73). Oleh karena itu media tidak dapat selalu berpegang pada kepentingan perusahaan namun juga harus memikirkan dalam hal pelayanan publik.

Jika kita melihat akibat dari kasus ini keprofesionalisme pemerintah tengah menjadi sorotan utama. Pemerintah di tuntut untuk mengambil keputusan secara cepat. Dalam hal ini, MKD harus bisa secara cepat mengambil keputusan secara cepat mengenai nasib Setya Novanto terkait dengan sanksi yang akan diterima. Resikonya ialah munculnya kecenderungan untuk mengabaikan prosedural demokratik. Oleh karenanya pemerintah dituntut untuk dapat mengimbangi kelemahan dibidang prosedural. Sebab itu media diharapkan menyediakan saluran komunikasi antara pemerintah dan masyarakat untuk membantu menjelaskan tujuan, merumuskan kebijakan, dan mengkordinasikan aktifitas.

Sekarang ini pemerintah dihadapkan dalam situasi yang dilematis akibat dari kasus Setya Novanto ini. disatu pihak, cepatnya arus informasi dalam hal ini opini para pengamat politik dan masyarakat yang muncul di media, menuntut pemerintah mengambil keputusan cepat. Disisi lain, legitimasinya membutuhkan konsultasi yang lebih luas yang berarti membutuhkan waktu lebih panjang seperti yang terjadi sekarang ini dalam sidang yang dilakukan oleh MKD. MKD memerlukan waktu yang panjang untuk memproses kasus Novanto sementera desakan yang begitu besar dari masyarakat agar Novanto segera dijatuhi sanksi. Dalam situasi seperti ini, komunikasi efektif dengan masyarakat melalui media massa menjadi semakin penting bagi pemerintah dan politisi untuk mendapatkan persetujuan akan setiap langkah dan keputusan yang akan mereka ambil.

Menjamurnya sarana media langsung dirasakan baik oleh ppemerintah maupun politisi karena menambah ketidakpastian mengenai pesan politik yang mereka sampaikan apakah sepenuhnya disampaikan oleh media terutama bagi media yang telah ditumpangi oleh kepentingan politik salah satu pihak. Politisi akan sulit untuk meramalkan respon apa yang akan diberikan oleh masyarakat terkait dengan pesan politik yang mereka sampaikan. Nilai berita sekarang ini telah mengalami perubahan dengan mengikuti apa yang dimaksud denga logika waktu pendek. Pemerintah dan politisi harus berjuang dengan keras agar pesan yang disampaikan sesuai dengan istilah atau maksud yang mereka inginkan. Dalam hal ini, Novanto harus berjuang keras untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa dirinya tidaklah bersalah. Sementara jika kita melihat, toleransi media khususnya Metro TV lebih memihak kepada posisi yang bersebrangan dengan Setya Novanto sehingga opini kritis masyarakat, kelompok LSM, maupun pengamat politik sering mendapat porsi yang lebih dalam setiap pemberitaan yang dilakukan oleh Metro TV.

Jika kita melihat adanya keluhan dari pihak yang membela Setya Novanto, penyataan mereka akan disalahtafsirkan oleh media atau media tidak melaporkan kebenaran tetapi mendistorsikan berita demi kepentingan mereka sendiri, harus disadari bahwa posisi Setya Novanto dalam kasus ini sangat tidak diuntungkan. Beberapa pernyataannya sering diputarbalikan atau model presentasinya yang dapat memberikan kesan lain, atau penggunaan bahasa yang dapat menimbulkan salah paham. Sekarang ini, kecenderungan simpati media terhadap politisi agak sedikit berkurang. Terlebih lagi bagi para politisi yang memiliki posisi berseberangan dengan pemilik media tersebut yang juga adalah seorang politisi. Ada empat alasan menurut Blumler mengapa sampai hal itu terjadi.

Pertama, meningkatnya skeptisme terhadap pernyataan pemerintah atau politisi karena publik tidak ingin menganggap penyataan mereka bisa dipahami secara harfiah. Kecenderungan pada pembelaan diri sangat mewarnai pernyataan mereka. Jika kita melihat semua pernyataan Setya Novando sarat akan pembelaan diri. Dilain pihak, banyak orang yang beranggapan bahwa Setya Novanto sudah terbukti bersalah melalui bukti rekaman yang telah tersebar di media. Hal ini semakin membuat masyarakat kehilangan rasa kepercayaan kepada Novanto akibat sikap yang sering dia munculkan di media. beberapa opini masyarakat menyatakan bahwa sebaiknya Novanto mengundurkan diri dan mengakui semua kesalahannya, namun yang terjadi adalah hal yang berbeda di mana Novanto tetap teguh dengan segala dalil yang bisa membuat dirinya seolah tidak bersalah dan memposisikan diri sebagai korban.

Kedua, wartawan tidak senang terhadap upaya politisi untuk mengatur berita demi kepentingan berita. Maka dari itu wartawan sering menetralisir dengan memasukan suara kritis mereka. ini yang sering terlihat jika ada talkshow di stasiun televisi beberapa narasumber yang dihadirkan biasanya berusaha untuk mengalihkan isu sehingga terkadang moderator beberapa memberikan pertanyaan yang menjebak atau menanggapi pernyataan narasumber tersebut dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Ketiga, meredupnya pesona situasi politik. Penayangan konflik partai, pemerintah dengan perlemen, aktivitas mereka sudah kehilangan daya tarik karena biasanya tidak ada lagi yang baru dan cenderung bisa diramalkan kelanjutannya. Carut marut dunia politik Indonesia diawal pemerintahan presiden Jokowi akibat adanya koalisi membuat banyak masyarakat yang telah hilang kepercayaannya terhadapa para politisi. Terutama bagi Setya Novanto, akibat beberapa aktivitasnya yang meimbulkan kontroversi sehingga membuat masyarakat tidak lagi memiliki kepercayaan terhadapnya.

Keempat, disatu sisi, kesadaran akan haknya sebagai warga negara telah mengembangkan tuntutan akan hidup pantas dalam berbagai bidang (kerja, kesehatan, pendidikan, transportasi umum, lingkungan). Disisi lain, banyak masalah darituntutan mereka yang tidak dapat diselesaikan dengan cepat oleh politisi. Mereka hanya dapat memperbaiki secara pelan dan dalam jangka waktu yang lama. Kesenjangan antara harapan dan kondisi ril ini memungkinkan kelompok penekan mendapat kesempatan untuk mempublikasian perjuangan, nilai, dan tuntutan mereka di media. Kinerja kurang memuaskan yang ditunjukan oleh para anggota DPR tentunya menjadi hal yang sensitif dikalangan masyarakat. Tidak heran jika ada anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi atau yang berhubungan dengan kepentingan diri sendiri akan menjadi sorotan masyarakat. Dalam beberapa potongan percakapan tercantum beberapa pernyataan mengenai memperkaya diri sendiri dengan membeli berbagai barang mewah. Hal tersebut tentunya mengundang kemarahan masyarakat karena perbuatan tersebut dianggap sangat merugikan negara yang mana disatu sisi belum meratanya pembangunan disegala bidang yang membuat masyarakat masih susah untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Oleh karena itu penting bagi suatu media memiliki idealisme sehingga media selalu dapat memberikan berita yang benar tanpa adanya konflik kepentingan dari luar media itu sendiri. Etika komunikasi juga penting untuk menjamin hak berkomunikasi di ruang publik dan hak akan informasi yang benar. Etika komunikasi bukan hanya masalah kehendak baik wartawan maupun para pelaku komunikasi yang terlibat dalam suatu pemberitaan, tetapi juga msalah etika institusional yang berupa Undang-Undang dan hukum.  Harus diakui bahwa hati nurani wartawan dan deontologi profesi belum cukup tangguh untuk menghadapi determinisme ekonomi dan teknologi, serta masih sangat rentan terhadap konspirasi, desinformasi, dan berbagai bentuk manipulasi. Regulasi publik ini bukan bukan pertama-tama untuk membatasi kebebasan berekspresi, tetapi untuk memperkuat deontologi profesi, mengangkat kredibilitas media dan pada akhirnya menjamin masyarakat untuk memenuhi haknya akan informasi yang benar. Jadi, etika komunikasi mau memecahkan dilema antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab media sebagai instalasi pelayanan publik.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun