Sementara itu, jauh di sebuah pulau terpencil di tengah lautan Evertika maha luas...
Hari masih di penghujung sore menjelang senja, cuaca cerah berangin, suasana sangat sunyi, hanya terdengar pekik burung-burung camar di kejauhan, bersahutan dengan debur ombak di pantai.
Seorang pemuda tampan berambut cokelat panjang termenung, duduk sendiri di hadapan tiga nisan pualam hitam nan dingin. Tertulis dalam tinta emas, 'Beristirahat dengan tenang:'
'Archduke Zeus Calamity Vagano'
'Duchess Florencia Lancaster-Vagano'
'Hannah Miles'
Tiga nama, tiga orang manusia yang kini 'betul-betul nyata' dan pasti semuanya sudah tiada.
Di masa lalu, mereka terlibat cinta segitiga hingga Zeus memutuskan kekasihnya Hannah dan memilih mempersunting Florencia Lancaster, alias Florence. 'Darah biru harus bersatu dengan darah biru', itulah aturan tak tertulis di kalangan bangsawan Everopa. Rakyat jelata, walau kalangan sosialita berada dan selebriti ternama, bukan jaminan akan diterima dalam lingkungan kebangsawanan mereka yang kolot dan kaku.
Sang Ayah, yang disangka telah lama mati, ternyata masih hidup. Namun kemudian mati lagi karena terjatuh dari atas tebing ke laut, tak jauh dari lokasi pemakaman ini.
Zeus tewas mengenaskan saat 'menyelamatkan seseorang yang pemuda itu sempat cintai. Gadis asing yang dihantarkan lautan ke pulau terasing ini, tiga tahun silam.
Ocean Stallion Vagano berdiri tegak. Mengucap lirih nama wanita muda yang selalu diam-diam ia selalu rindukan, "Emily."
Ia selalu merasakan beban yang berat sekali bila harus mengenang gadis itu, teringat pada keberadaannya di sini selama entah beberapa minggu atau bulan.
Setelah semua hal menyedihkan yang terjadi, Ocean dan adik kembarnya, Sky, harus merelakan kembalinya Emily kepada keluarga besarnya. Tak ada lagi alasan untuk menahan-nahan gadis yang terlalu sedih dan hancur hati setelah menjadi saksi pelampiasan dendam antara ayah dan tiga anak kembarnya yang menderita gegara cinta segitiga di masa silam.
Kematian Hannah si 'Wanita Tua Jahat' dan Zeus si 'Monster Lorong Bawah Tanah' disangka semua orang mengakhiri segalanya. Kutukan dianggap telah punah karena berhasil memperoleh tumbalnya. Dan Pedang Terkutuk Dangerous Attraction sudah kembali tersimpan di Museum, dengan pengamanan super ketat.
Bahkan Kembar Vagano telah mengantisipasi segala kemungkinan terburuk, 'mengasingkan' Earth Avalanche Vagano, adik bungsu mereka yang sempat memberontak dan ingin melawan kakak-kakaknya pada malam kelam itu, dimana pertarungan pedang yang berlangsung malah mencabut nyawa ayah mereka, bukan dengan ujung runcingnya, namun dengan terhempasnya Zeus di atas karang-karang tajam.
Ocean hampir tak mengenal sang ayah, namun ia sempat merasakan hampa yang amat sangat. Apalagi Emily, tak mampu berlama-lama lagi tinggal di sana dan segera berpamitan kepadanya saat ada kapal kargo merapat untuk suplai logistik.
"Ocean, maafkan aku yang terburu-buru memutuskan untuk pulang ke tempat asalku. Terima kasih untuk segalanya, namun aku harus kembali secepatnya. Keluargaku menungguku di Evermerika. Mereka pasti masih mencemaskan nasibku dan sangat rindu denganku, kembalinya diriku dengan selamat sebagai kejutan manis akan sangat melegakan mereka."Â
Demikian pamit Emily saat merapikan sendri kamar tamu mewah yang telah dihuninya selama beberapa waktu. Membereskan semuanya untuk terakhir kali, gadis itu bahkan tak ingin memandang mata biru Ocean yang berkaca-kaca.
Ocean tak pernah tahu bagaimana perasaan Emily yang sebenarnya. Gadis itu lebih banyak berdiam diri, setelah Earth lebih dahulu 'dikirimkan' entah kemana oleh kedua kakaknya dengan alasan 'akan direhabilitasi'. Emily tak berkomentar apa-apa soal alasan itu. Semua masih menjadi misteri hingga saat ini; apakah Emily dan Earth benar-benar pernah 'bersama' atau bahkan lebih dari itu?
'Apakah hati Emily memilih Earth, adikku yang terkutuk?'
Mereka bahkan tak banyak berkata-kata, apalagi mengucap janji apa-apa saat kapal kargo yang akan ditumpangi Emily siap untuk mengangkat sauh dan berangkat ke pulau terbesar terdekat.
"Tunggu! Emily, aku belum sempat mengungkapkan sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu," ungkap Ocean berusaha menahan niat gadis itu, "ada sesuatu yang ingin kulakukan saat hari ulang tahun kami yang keduapuluh tiga."
Pemuda itu ingin sekali sekarang juga mengeluarkan sebentuk kotak kecil hadiah kejutan sebagai ungkapan cintanya, sekaligus keinginannya untuk...
"Aku pergi, Ocean. Bye." senyum Emily untuk terakhir kalinya, berpaling, bahkan Ocean tak sempat mengeluarkan sebentuk cincin berlian yang ia ingin sematkan di jari manis gadis itu.
Hanya sebuah nomor telepon yang ia sempat tuliskan sebelumnya dan titipkan ke dalam tangan gadis itu, apabila ingin menghubunginya kembali suatu hari nanti. Sebab tak ada alat komunikasi canggih berarti yang dapat mereka gunakan secara langsung. Hanya itulah nomor yang menghubungkan keluarga Vagano dengan dunia luar.
Menunggu dan menunggu, seolah terjadi 'lost contact', Emily mungkin sekali sudah bertemu dengan pria lain, berkencan, bahkan menikah dan memiliki bayi.
Bayangkan, 3 tahun tanpa kabar apa-apa!
Kembali ke masa kini. Senja merah di Pulau Vagano selalu tampak indah, namun membawa serta banyak kenangan menyedihkan.
"Emily pasti masih marah kepadaku saat kami hampir saja melakukan perbuatan itu di atas pianoku malam itu. Sebelum ia benar-benar bisa mencintaiku." sesal Ocean seorang diri.
Ia berdiri, menunduk sesaat, seolah berpamitan kepada ayahnya, yang sudah beristirahat untuk selamanya di sisi kedua wanita yang dahulu sama-sama mencintainya.
"Ayah, sudah aku putuskan, aku akan segera pergi ke Evermerika mencari Emily. Kau mungkin takkan setuju karena ia bukan gadis keturunan ningrat atau seorang bangsawati, namun hanya dia yang kucintai bahkan hingga saat ini. Adik-adikku takkan pernah mendapatkannya. Aku yang pertama kali mengenalnya, dan cintaku padanya begitu kuat, hingga bertahan hingga saat ini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H