(Point-of-view Emily:)
'Aku bahkan hampir tak ingin mengingat-ingat momen dimana Ocean malam ini begitu marah kepadaku. Aku betul-betul merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Karena sebegitu dalamnya cintanya kepadaku, atau karena ia marah sekali atas apa yang sebelumnya kuperbuat?
Kuakui, simpati kepada Earth adalah sesuatu yang awalnya adalah spontanitas belaka. Karena ia sosok pria muda labil terluka yang begitu peka, sepolos bocah kecil dan juga masih begitu lugu. Namun di sisi lain, betul kata Ocean, ia bisa jadi sangat berbahaya dan haus darah. Tak terduga.
Ia lebih dari sekedar badboy yang kutonton di film-film atau jagoan terluka yang menebar teror di fiksi-fiksi yang kubaca. Sosok tampan yang mengoyak-ngoyak kealiman dan kepolosanku, membukakan mataku yang belum pernah melihat sosok seorang pria dewasa yang seutuh-utuhnya.
Dan belum lagi tadi saat Ocean hampir saja melakukan hal yang hampir sama dengan yang Earth lakukan sebelumnya denganku.
Atau mungkin, kami lakukan bersama. Sebab aku tak melawan.
Dalam gelora kemarahannya, dihempaskannya aku ke atas piano yang tertutup. Tak diberinya aku kesempatan untuk melarikan diri. Kedua lengan rampingnya yang kuat seakan memerangkapku untuk selamanya.
Sosoknya tak sekasar Earth. Ia seorang pemuda tinggi ramping berkulit halus mulus bagai porselen, beraroma lembut menawan namun tetap maskulin. Lekuk tubuh Ocean yang atletis jelas terpampang saat ia perlahan melepas kemejanya. Rambutnya yang cokelat panjang tergerai menutupi sebagian leher, dada dan punggungnya. Jakunnya menonjol, kelihatan jelas beberapa kali ia menelan ludah.
Seksi, kuakui. Kedua kakak beradik itu sama-sama pencuri hati, penyiksa jiwa raga yang pesonanya tak bisa dihindari.
Ia begitu percaya diri dan mendekatiku, seolah yakin aku takkan berteriak, minta tolong atau menghindar dengan penuh ketakutan.
Ocean memulai dengan lembut sekali. Aku ingin memejamkan mata, tapi tak bisa, Aku menatapnya kelu.
Ia menciumku dari wajah, turun hingga ke leher hingga ke tulang belikatku, dan sekali sentak saja ia hampir mengoyakkan blus yang kupakai. Bibirnya lembut, hangat menelusuri kulitku dari atas hingga ke bawah. Gigi putihnya seakan ingin menggigit bibirku sementara lidahnya berkelana semakin liar dan basah menelusuriku dari atas hingga ke bawah.
Aku terlalu terlena untuk menghindar. Merasa malu, berdosa, begitu terhina, namun di satu sisi, dengan sia-sia menyangkal bahwa aku sesungguhnya menikmati perbuatannya yang begitu luar biasa, mampu memompa aliran darah di semua pembuluhku. Jantungku berdegup begitu keras saat menyaksikan semua yang ia lakukan. Terpukau dengan sensasi mata birunya yang mengembara di seluruh bagian yang ia tatap dan sentuh.
Namun sebelum ia berhasil merenggut milikku satu-satunya, yang juga belum siap kuberikan kepada Earth, lagi-lagi sesuatu mencegahnya. Ketukan keras di jendela disusul panggilan namaku. Kurasa itu... Earth? Sebegitu nekatkah ia kembali, atau ia memang belum tahu Ocean telah berada di sini lagi?
Ocean tampak begitu marah dengan intervensi itu, yang seketika membatalkan apa yang sedang ia begitu ingin lakukan terhadapku.
Dengan ngeri kutatap ia menyambar senapan yang telah ia siapkan sedari awal di depan piano. Dalam gundahnya Ocean membuka kunci jendela dengan satu dorongan keras, berusaha mencari tahu siapa pemanggil pengganggu yang bersembunyi lagi dalam kegelapan.
Lalu setelah tak berhasil menemukan siapa-siapa, diperintahkannya aku untuk pergi ke kamarku ini, mengurung diri.
Dan kurasa aku takkan pernah dibiarkan keluar sendiri lagi. Mungkin untuk selama-lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H