Ocean memulai dengan lembut sekali. Aku ingin memejamkan mata, tapi tak bisa, Aku menatapnya kelu.
Ia menciumku dari wajah, turun hingga ke leher hingga ke tulang belikatku, dan sekali sentak saja ia hampir mengoyakkan blus yang kupakai. Bibirnya lembut, hangat menelusuri kulitku dari atas hingga ke bawah. Gigi putihnya seakan ingin menggigit bibirku sementara lidahnya berkelana semakin liar dan basah menelusuriku dari atas hingga ke bawah.
Aku terlalu terlena untuk menghindar. Merasa malu, berdosa, begitu terhina, namun di satu sisi, dengan sia-sia menyangkal bahwa aku sesungguhnya menikmati perbuatannya yang begitu luar biasa, mampu memompa aliran darah di semua pembuluhku. Jantungku berdegup begitu keras saat menyaksikan semua yang ia lakukan. Terpukau dengan sensasi mata birunya yang mengembara di seluruh bagian yang ia tatap dan sentuh.
Namun sebelum ia berhasil merenggut milikku satu-satunya, yang juga belum siap kuberikan kepada Earth, lagi-lagi sesuatu mencegahnya. Ketukan keras di jendela disusul panggilan namaku. Kurasa itu... Earth? Sebegitu nekatkah ia kembali, atau ia memang belum tahu Ocean telah berada di sini lagi?
Ocean tampak begitu marah dengan intervensi itu, yang seketika membatalkan apa yang sedang ia begitu ingin lakukan terhadapku.
Dengan ngeri kutatap ia menyambar senapan yang telah ia siapkan sedari awal di depan piano. Dalam gundahnya Ocean membuka kunci jendela dengan satu dorongan keras, berusaha mencari tahu siapa pemanggil pengganggu yang bersembunyi lagi dalam kegelapan.
Lalu setelah tak berhasil menemukan siapa-siapa, diperintahkannya aku untuk pergi ke kamarku ini, mengurung diri.
Dan kurasa aku takkan pernah dibiarkan keluar sendiri lagi. Mungkin untuk selama-lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H