(Point-of-view Ocean Vagano:)
'Aku tak tahu mengapa malam ini aku begitu marah kepada Emily yang terang-terangan telah menyelundupkan seseorang tak dikenal ke dalam sini. Walau ia mungkin memang sangat mirip denganku hingga dapat mengelabui semua orang. Mengapa kami semua bisa begitu bodoh? Mengapa bisa begitu lengah di dalam pertahanan sendiri?
Aku bukan tipe pria yang kasar dan dominan terhadap wanita, namun aku juga tak dapat menahan gejolak kemarahanku yang membuncah saat tahu gadis yang kusukai selama ini nyaris saja...
Kecemburuan dan rasa posesif itu biasanya tak pernah ada. Namun seperti samudra yang bergelora akibat badai yang berhembus di atas permukaannya, perasaanku serta semua kekesalan atas ketidakberadaan dan ketidakberdayaanku keluar.
Kuhempaskan Emily ke atas piano itu, dan seakan-akan dengan bertindak demikian ia takkan diinginkan siapa-siapa lagi, segera kulepaskan sebagian besar kain yang menutupi tubuhnya, lalu kuteliti dengan baik apakah ada yang berubah padanya. Adakah bekas pria lain atau bukti bahwa ia telah memberikan dirinya kepada Earth?
Seumur hidupku aku belum pernah memiliki pacar atau tidur dengan seorang gadis, dan aku sadar bahwa kalaupun terjadi, itu sangat wajar.
Memandang Emily sedemikian dekat dan intim baru kali ini kulakukan. Tubuhnya indah, walaupun sosoknya mungil dan ringkih. Semua yang ada padanya sempurna dan sesuai seleraku. Sangat pantas untukku. Cantik, molek dan berisi. Dua bukit kembarnya bagaikan buah apel yang memabukkan. Tubuhnya yang lembut secara liar menstimulasi indra penglihatan dan semua indra perasaku, berhasil menaikkan gairahku ke level tertinggi.
Pintanya agar aku tak melakukan hal itu, tak kudengarkan. Namun pada detik-detik sebelum kuhujamkan milikku dengan penuh nafsu, sebuah suara di jendela membuatku terpaksa menarik diri.
"DUK DUK DUK DUK DUK..." entah ketukan atau suara di luar berusaha memecahkan kaca jendela.
"Siapa di sana?" aku merasa ada yang tak beres.
Cih, mengganggu saja. Terpaksa kurapikan kembali pakaian malamku dan kusambar senapan di sudut kaki piano yang selalu kubawa kemanapun mulai hari itu.
Emily yang masih setengah berbusana terduduk di atas piano, buru-buru menutupi bagian atasnya dengan blus.
"Emily!"
Panggilan seseorang di luar sana benar-benar membuatku terganggu. Kubuka jendela aula yang besar dan berat, berusaha melihat ke dalam kegelapan malam. Hanya ada pepohonan dan cahaya bulan nan suram.
Kurasa sosok yang tadi memanggil nama Emily itu... Earth ???
"Huh. Kurasa dia sekarang ada di sini. Emily, pergi ke kamarmu dan kunci pintu! Jangan berani-berani keluar sebelum aku ke sana!"
Emily terkesiap, buru-buru mengenakan semua busananya kembali. Lalu terburu-buru pergi tanpa sepatah katapun.
Earth? Betulkah ia memang ada dan ia tahu atau berhasil mengintipku saat sedikit lagi berhasil memiliki Emily? Betulkah jika saudaraku itu memang selama ini terbebas dan berusaha merebut gadis yang duluan kucintai?
Tak berhasil menemukan pengganggu itu, kututup dan kukunci jendela aula baik-baik.
Perasaanku sungguh tak karuan. Batal memiliki Emily kali ini. Astaga. Ia pasti merasa takut mengetahui bisa sebegitu bejat dan rendahnya diriku. Mengapa aku begini? Ada apa denganku?
Baru kali inilah selama hidupku, aku ingin berbuat itu, sebelum gadis yang kali ini betul-betul kucinta mengatakan ia juga cinta padaku. Inikah yang ayahku sebut 'lindungi satu dan dua dari tiga'?
Tiga.. bukan hanya mengacu pada hadirnya Earth. Tapi ...kehadiran seorang wanita!'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H