Begitu tersadar pada sebetik fakta itu, Emily seperti berada pada titik yang paling berat dalam hidupnya, antara kenyataan yang coba disangkalnya hingga apa yang memang ia sudah tunggu-tunggu, berjumpa dengan sosok kembar ketiga yang selama ini menghantuinya.
"Kau... Earth?"
"Begitulah Lilian memanggil namaku." ucap pemuda yang belum menunjukkan wajah di hadapan gadis yang masih begitu takjub sekaligus ketakutan, malu dan penasaran sekaligus.
"Kita berjumpa lagi." Earth memiliki suara yang hampir sama dengan Ocean dan Sky, namun sedikit lebih parau dan juga sedih. Senyumnya hampir sama seperti senyum Ocean.
Emily dalam penasarannya segera maju ke depan walau kakinya masih sedikit sakit, dan menyingkap tudung yang menutupi wajah Earth.
"Astaga." ia terpana. Sangat amat mirip dengan kedua kakaknya, hanya Earth masih begitu kurus dan tirus dengan sedikit lingkaran hitam di bawah lingkaran matanya yang biru.
"Aku jelek sekali bukan?" Earth memegang tangan Emily yang sangat kontras dengan tangannya yang kasar tak terawat.
"Tidak. Kau sama persis seperti mereka. Dan kau masih hidup."
"Aku bertahan. Aku hampir mati berkali-kali, namun aku ditakdirkan untuk hidup demi membalaskan dendam kepada mereka."
"Dendam siapa? Dendam yang berasal dari dirimu sendiri?"
Earth masih menggenggam tangan Emily, yang herannya tak ditarik gadis itu.
"Aku tak tahu. Yang jelas, mereka begitu nyaman berada di surga seperti ini, sementara aku berada di neraka..."
"Earth..." Emily malah merasa begitu prihatin terhadap kata-kata pemuda yang baru kali ini ia lihat dengan mata cokelatnya sendiri,
"Kaukah yang waktu itu... mengintaiku, beberapa kali menolongku, serta telah... melihat tubuhku?"
Earth tiba-tiba melepaskan tangan Emily, menarik tangannya dengan segan sambil membuang muka, "Maafkan aku! Aku, memang, tak layak untuk melakukan semua itu."
Ia menangis seperti seorang anak kecil. Memang Earth seorang pemuda dewasa, namun secara emosi ia masih begitu muda dan belum bisa mengejar segala ketertinggalannya.
"Jangan menangis. Tak apa-apa." Emily malah terharu sendiri. "Bukan salahmu. Semua yang terjadi selama ini bukan karena dirimu."
"Aku membunuh ibuku sendiri saat aku lahir. Aku dihukum selama ini karena aku bertukar nyawa dengan ibuku..."
"Itu semua tak benar. Kau lahir selamat karena takdir, dan kematian ibumu bukan karena dirimu. Itu adalah kehendak Tuhan."
Emily sekarang sudah tak tahan lagi. Dikumpulkannya segenap tenaganya dan diraihnya Earth ke dalam pelukannya.
"Kau tak sendiri lagi. Kau punya aku. Kita berteman?"
"Te, te, teman? Kau yakin mau berteman dengan makhluk terkutuk sepertiku?" Earth tak mengelak. Ia baru kali ini merasa nyaman dalam rangkulan seseorang yang selama ini ia diam-diam begitu suka.
"Ya. Kau sudah berhasil menemukan jalan keluar dan akhirnya kita bertemu. Kita akan segera bertemu dengan saudara-saudaramu dan kalian bertiga akan hidup dalam kebahagiaan."
Earth terdiam. Tiba-tiba dengan kasar dihempaskannya Emily ke atas pasir putih.
"Ah! Mengapa kau begitu, Earth?" Emily sedikit ngeri merasakan emosi Earth yang tiba-tiba meledak.
"Jangan sekali-kali kau sebut mereka di hadapanku! Aku tak ingin ada mereka dalam hidupku, terutama Ocean! Aku bukan teman, apalagi sahabat mereka!"
Ia pergi sejenak entah kemana dan datang kembali dengan sebuah benda berkilau keperakan, panjang dan tajam penuh darah kering yang semalam dilihat Emily samar-samar sebelum hilang kesadaran. Terhunus dan tampak mantap berada dalam genggaman.
"Benda ini telah menghujam seekor kuda tadi malam. Dan aku siap untuk menghujamkannya juga kepada mereka pada hari yang telah ditetapkan itu! Atau kapan saja aku berjumpa dengan mereka!"
'Dangerous Attraction! Earth.... bagaimana mungkin dan darimana kau mendapatkan pedang terkutuk itu?'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H