Sementara di luar sana, Emily yang sama sekali tak mengetahui kepulangan Ocean dan semua yang telah terjadi, lagi-lagi menemui dirinya sendiri tersesat di hutan belantara pulau Vagano, dimana walaupun malam itu tak turun hujan, namun suasananya cukup suram.
Bulan sesekali memunculkan cahaya dari balik dedaunan kehitaman pohon-pohon maha tinggi. Udara dingin menggigit dan kabut tipis turun bagaikan selimut bumi yang enggan menyingkir untuk memberi jalan. Menutup semua rumput liar, semak dan bebatuan licin serta tanah yang Emily lalui. Cahaya kecil dari sorotan senternya tak mampu membantu dengan baik karena apapun yang diteranginya hanya berwarna hijau, cokelat dan hitam. Beberapa kali Emily tersandung akar pohon melintang dan juga terantuk bebatuan kasar.
Tapi gadis itu pantang menyerah dan terus berjalan.
Ketika ia tak begitu jauh lagi dari sumber cahaya di tepi pantai yang tampaknya seperti api itu, tiba-tiba Emily terjerembab pada sesuatu yang melintang hingga senternya terjatuh entah kemana dan dirinya juga terguling-guling di tanah.
"Aduh!" senternya kini tampak begitu jauh darinya dan Emily tak sanggup bangun untuk mengambilnya karena kakinya terkilir.
"Tolong, tolong, toloooong.." ia tahu, berteriak demikian di bagian pulau yang nyaris tak berpenghuni ini sesungguhnya sia-sia belaka. Namun entah kenapa, kali ini ia tak mau jatuh pingsan lagi dan memilih untuk bersuara, bertahan meski tak tahu hingga kapan.
Dalam keberuntungannya, dari balik kabut-kabut tipis itu, tetiba ada sosok yang mendekat. Tadinya Emily mengira itu rusa liar atau semacamnya, namun ternyata...
"Ocean?" ia sedikit lega melihat seseorang yang ia kenal, pasti Ocean mencarinya sepulang dari perjalanan, tahu bahwa ia sedang butuh pertolongan.
"Aku bukan Ocean." sosok berambut panjang itu menyahut dingin.
"Haaah?" Emily seketika tersadar bahwa warna suara sosok itu tak begitu sama dengan Ocean, dan sepertinya ia pernah mendengarnya!
Dan yang lebih mengejutkannya hingga nyaris berteriak, sosok itu membawa sesuatu yang panjang, samar-samar di bawah minimnya pencahayaan, berwarna putih keperakan dan juga berlinangan sesuatu yang merah kental.
"Da, da, da, darah?"
Dan itulah yang terakhir dilihat Emily sebelum ia kehilangan kesadaran.
Lama kemudian, ia kembali sadar perlahan-lahan sekali seperti saat ia pertama kali tahu ia terdampar di pulau ini. Pandangannya nanar, namun lama-kelamaan menjadi semakin jelas.
Hari sudah pagi dan ia terjaga di atas pasir putih yang menghadap ke pantai. Tak jauh dari sana, lautan biru lepas maha luas yang biasanya begitu indah, namun entah mengapa, hari ini tak terasa seperti hari wisata baginya.
Emily memutar arah pandangannya dan kembali menjerit tertahan. Mercu suar Lilian dan sekitarnya sudah tak sama seperti malam terakhir ia berkunjung. Sudah berubah menjadi corong besar hitam yang masih mengepulkan asap serta begitu banyak benda lain di sekitarnya ikut hangus. Sudah tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
"Lilian? Astaga! Mengapa rumahmu..." Emily berusaha berdiri tegak untuk segera berlari kesana, tapi kakinya masih terkilir.
"Awww..."
"Jangan bergerak dulu. Kau belum sembuh." ujar seseorang... Ternyata sosok yang semalam mendatanginya!
"Siapa kau?"
Pemuda tinggi dan kurus itu menutup wajahnya dengan sebuah tudung, hanya bibirnya yang tampak. Dan sosoknya maupun rambut panjangnya yang menjuntai keluar dari balik tudung itu tak terlihat jelas.
"Aku bukan Ocean, tapi aku tahu namamu Emily. Kurasa kau tahu siapa aku. Kita sudah beberapa kali berjumpa."
Emily tak langsung berani mengucapkan nama kembar ketiga yang seketika muncul di benaknya. "E, e, e... Earth?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H