Emily dan Sky sama-sama terdiam menyaksikan penemuan mereka di Lorong Bawah Tanah yang begitu menyesakkan dada sekaligus membuat hati nurani terusik.
Seseorang yang tadinya berada di sini pasti merasakan kesepian, kemarahan dan penderitaan yang luar biasa. Ini lebih parah daripada penjara. Ini lebih dari sekedar tawanan atau narapidana biasa, bahkan mungkin ia telah menerima siksaan melebihi hewan yang hendak disembelih atau dijagal sebelum dikonsumsi manusia.
"Lihatlah ini." sorot Emily dengan senter kecilnya ke pojok ruangan. Beberapa alat penyiksaan masih ada di sana; tongkat kayu berduri, sejenis cambuk atau pecut, dan entah apa lagi namanya, yang jelas ini benda-benda sungguhan seperti yang biasa dipakai tentara abad pertengahan saat menyiksa tawanan perang. Dan semua benda itu adalah saksi bisu sekaligus alat bukti..
"Jangan-jangan... Hannah yang selama ini melakukan semua ini kepada seseorang." ucap Sky menggemakan kesimpulan Emily.
"Ia yang sering meraung atau menjerit, suara yang kita kira lolongan serigala atau binatang liar di hutan itu. Dari sinilah sumbernya." Sky merasa begitu geram.
"Tapi dimana orang itu sekarang?" Emily berusaha berpikir jernih walau napasnya mulai sesak karena kesedihan sekaligus rasa muak dan takut. Gadis itu membayangkan kembali rangkaian kejadian yang ia alami.
Sosok misterius yang pernah mengintip dan mengintainya selama ini, bahkan pernah menyelamatkannya, walau hal yang memalukan itu takkan pernah berani diungkapkan kepada Ocean dan Sky untuk selamanya.
"Mari kita segera kembali dan mencari Hannah dan juga siapapun orang yang ia pelihara dan siksa di sini..." ajak Sky, terburu-buru menggamit lengan Emily yang masih berlinangan air mata.
"Jangan-jangan, Earth.. Earth yang telah berada di sini selama hampir dua puluh tiga tahun. Sungguh kasihan sekali."
Tiba-tiba...
"Aaaargh!"
Emily dan Earth tetiba mendengar raungan yang serupa seperti yang sering mereka dengar di malam hari.
Begitu dekat. Begitu nyata.
Dan tak jauh dari sini!
Ternyata... !
Â
Sementara itu, Ocean yang sedang pulang menuju ke puri dengan kudanya Silver Sea, dalam perjalanan kembalinya merasa begitu ingin sekali lagi melihat area pemakaman keluarganya, siapa tahu ia akan menemukan petunjuk lain yang terlewatkan di sana.
"Ayah dan ibuku meninggal hampir berbarengan dan juga satu makam kosong di sebelah mereka. Tapi siapa yang menggalinya, dan untuk menguburkan siapa, tak ada yang tahu. Bila Earth telah benar-benar dikremasi sejak lahir, di mana abunya ditebar atau bejana abunya disimpan? Tak ada jejak maupun petunjuk apapun selain puisi Kutukan Angka Tiga.
Ayah menulisnya seperti sebuah petunjuk akan munculnya sesuatu bila 'Tiga' muncul, harus melindungi 'Satu' dan 'Dua'
Tiga Makam. Dua terisi. Satu kosong.
Menunggu."
Apa atau siapa yang ditunggu?
Ocean segera tiba di lokasi yang ia tuju. Ia sudah pernah berada di sana dan melihat segalanya. Tapi ada satu hal yang benar-benar gila yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
"Benarkah ayahku sudah meninggal seperti yang dikatakan orang-orang? Mengapa tak ada yang pernah tahu sebab meninggalnya, dan bahkan kami tak memiliki akta kematiannya?
Apakah..."
Ocean segera pergi berkuda ke istal yang tak terlalu jauh dari sana dan kembali lagi dengan sebuah sekop penggali tanah. Matahari mulai tinggi di langit, namun ia tak perduli pada cuaca yang begini terik.
"Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku harus melihat jenazah ayah! Sebab..."
Ocean terus menggali dan menggali seorang diri hingga sore menjelang. Ternyata tanah  makam Vagano tak sesubur wilayah sekitarnya, tanahnya begitu keras dan kering.
Makam itu jauh lebih dalam dari yang ia duga. Mungkin dua meter atau lebih. Ocean bersyukur ia tak lupa membawa tali tambang yang ia tambatkan di pohon terdekat untuk menolongnya keluar nanti.
Pakaian Ocean yang biasanya necis kini sudah berlumur tanah merah dan tubuhnya kotor bermandi peluh. Hingga hari senja dan sekitarnya hampir menjadi gelap, barulah sekopnya bertumbukan dengan kayu peti jenazah ayahnya, Zeus Vagano.
"Ayah!" panggilnya dengan suara bergetar sambil berusaha mencungkil tutup peti yang ternyata masih utuh itu dengan linggis.
Dan peti yang sudah tua itu segera terbuka dengan mudah.
Mata biru Ocean terbelalak tak percaya pada apa yang ia temukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H