Bila Earth tega, bisa saja ia saat itu melecehkan Emily, merudapaksanya hingga tak ada lagi sisa kemanisan dan kecantikan gadis polos dan lembut yang bisa Ocean nikmati. Lalu menginjak-injak tubuhnya hingga gadis itu berakhir tragis dalam hutan, dan jenazahnya takkan pernah ditemukan siapa-siapa.
Tapi tidak. Earth masih memiliki hati dan perasaan. Bahkan terhadap Hannah.
Pemuda itu menengadah. Ia bisa mendengar gerutuan Hannah menggema dari lantai teratas mercu suar. Sedari tadi wanita tua itu tak henti-hentinya mengutuki Lilian dengan segala sebutan paling jahat dan maki-makian paling kejam.
Maka ia mengenakan sebuah topeng algojo yang ia temukan dari koleksi lama pajangan Lilian dan mengambil selembar kain putih panjang. Dinaikinya anak tangga spiral menuju puncak mercu suar, satu demi satu, hingga maki-makian dan sumpah serapah Hannah semakin jelas.
Dan wanita tua itu kini melihat sosok tinggi kurus yang datang walau tanpa wajah. Wajahnya sendiri penuh lebam dan darah kering, serta tentu saja sebagian gigi depannya telah ompong akibat tinju Earth.
"Siapa kau? Siapa? Ocean? Sky? Aku tahu! Kalian mau menangkapku, iya 'kan? Percuma saja! Pedang itu ada! Pedang itu yang akan menghabisi kalian! Ada di istal kuda di bawah jerami! Ya, aku boleh kalian tangkap, tapi masih ada kutukan di atas kalian!"
Lalu Hannah langsung terdiam. Sekali lagi tinju Earth membungkamnya dan membuatnya pingsan. Pemuda itu segera membebat mulut Si Tua dengan rapi.
"Kau dulu membungkamku karena takut raungan dan rintihanku terdengar. Kini giliranmu yang aku bungkam dan kubiarkan menderita."
Sementara itu Ocean akhirnya berhasil masuk ke dalam rumah mercu suar setelah bersikeras melewati sosok ringkih Lilian. "Maaf, Dokter. Aku tak bermaksud kurang ajar."
Lilian membeku ketakutan. Mata biru Ocean tajam menyapu seisi ruangan melingkar yang tak bertembok itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H