"Apakah Hannah ada di tempat ini? Aku perlu segera bicara dengannya. Kumohon, Doc Lilian."
"Uh, aku..." Lilian masih berusaha mencegah agar Ocean tak membuka pintu untuk masuk ke dalam rumah mercu suarnya.
Wanita itu bukannya tak ingin melaporkan kejadian buruk yang nyaris menimpanya dini hari tadi. Hanya saja ia masih ingin merahasiakan keberadaan Earth, yang ia rasa belum siap untuk bertemu dengan kedua saudara kembarnya termasuk Ocean.
"Hannah sudah pergi dari sini. Ya, tadi memang ia datang kemari. Ingin bicara tentang... kondisi Emily. Ya, ia bilang bila Emily sudah membaik, lalu pergi lagi."
Tubuh tinggi tegap Ocean nyaris tak dapat dihalangi oleh wanita setengah baya yang sedikit berusia lebih tua daripada almarhumah ibunya itu. Namun Lilian berdiri di pintu, masih ngotot tak mengizinkan Ocean masuk. Ia tak mau bila Earth maupun Hannah diusik, karena ia telah berpikir cukup jauh.
"Biasanya aku percaya kepadamu, Dokter. Namun mengapa hari ini kau begitu aneh? Kumohon, izinkanlah aku masuk sebentar saja, mungkin wanita itu masih di sini. Ia sangat berbahaya. Tadi ia menidurkan kami dengan minuman berisi obat tidur."
"Astaga. Tapi benar, Ocean anakku. Aku tak melihat Hannah, lagipula aku tak lagi bersahabat dengannya."
Lilian membatin. 'Kutukan Angka Tiga masih berlaku walau Hannah ditangkap dan juga bila Earth ketahuan. Karena Kutukan Zeus itu bukan hanya sekedar gertak sambal belaka.
Kutukan itu ada dan nyata, bukan cuma takhayul. Zeus telah mengikat sumpah, dan sumpah itu berlaku walau mungkin mereka yang ia kutuk telah tertangkap atau tiada.'
Sementara Ocean di luar masih bersikeras hendak masuk, ternyata Earth mendengar semua itu. Ia menandai suara itu sebagai suara kakak kembarnya.
Orang yang sudah ia benci selama berpuluh-puluh tahun karena hasutan-hasutan Hannah!
'Ini Ocean, ini Sky! Gara-gara mereka kau berada di sini! Pada saatnya nanti kau akan lepas dari sini untuk menghabisi mereka!' demikian hasutan yang Hannah sudah tanamkan ke dalam pikiran malangnya yang sederhana. Kalimat-kalimat dan foto-foto yang ia tunjukkan dari hitam putih hingga berwarna, masih segar dalam ingatan.
Earth begitu geram. Apalagi bila teringat Ocean yang mencium bibir Emily waktu itu. Ocean yang namanya disebut-sebut Emily saat ia yang sebenarnya menyelamatkannya. Ocean yang begitu sempurna, memikat saat bermain musik, gagah, pintar dan bersinar.
Bila Earth tega, bisa saja ia saat itu melecehkan Emily, merudapaksanya hingga tak ada lagi sisa kemanisan dan kecantikan gadis polos dan lembut yang bisa Ocean nikmati. Lalu menginjak-injak tubuhnya hingga gadis itu berakhir tragis dalam hutan, dan jenazahnya takkan pernah ditemukan siapa-siapa.
Tapi tidak. Earth masih memiliki hati dan perasaan. Bahkan terhadap Hannah.
Pemuda itu menengadah. Ia bisa mendengar gerutuan Hannah menggema dari lantai teratas mercu suar. Sedari tadi wanita tua itu tak henti-hentinya mengutuki Lilian dengan segala sebutan paling jahat dan maki-makian paling kejam.
Maka ia mengenakan sebuah topeng algojo yang ia temukan dari koleksi lama pajangan Lilian dan mengambil selembar kain putih panjang. Dinaikinya anak tangga spiral menuju puncak mercu suar, satu demi satu, hingga maki-makian dan sumpah serapah Hannah semakin jelas.
Dan wanita tua itu kini melihat sosok tinggi kurus yang datang walau tanpa wajah. Wajahnya sendiri penuh lebam dan darah kering, serta tentu saja sebagian gigi depannya telah ompong akibat tinju Earth.
"Siapa kau? Siapa? Ocean? Sky? Aku tahu! Kalian mau menangkapku, iya 'kan? Percuma saja! Pedang itu ada! Pedang itu yang akan menghabisi kalian! Ada di istal kuda di bawah jerami! Ya, aku boleh kalian tangkap, tapi masih ada kutukan di atas kalian!"
Lalu Hannah langsung terdiam. Sekali lagi tinju Earth membungkamnya dan membuatnya pingsan. Pemuda itu segera membebat mulut Si Tua dengan rapi.
"Kau dulu membungkamku karena takut raungan dan rintihanku terdengar. Kini giliranmu yang aku bungkam dan kubiarkan menderita."
Sementara itu Ocean akhirnya berhasil masuk ke dalam rumah mercu suar setelah bersikeras melewati sosok ringkih Lilian. "Maaf, Dokter. Aku tak bermaksud kurang ajar."
Lilian membeku ketakutan. Mata biru Ocean tajam menyapu seisi ruangan melingkar yang tak bertembok itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H