Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romansa Thriller Apocalypse Episode 113)

22 Mei 2023   11:06 Diperbarui: 22 Mei 2023   11:13 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

"Oh, no!" Orion tak punya kesempatan lagi untuk mencegah apa yang berikutnya terjadi. Semuanya kini sudah terlambat!

Seiring dengan kembalinya arus energi, pagar listrik itu kembali aktif. Semua yang bersentuhan dengannya otomatis...

"Tidak, tidak, tidak!"

"Mimpi buruk! Ini hanya sebuah mimpi buruk, iya 'kan?"

"Astaga, tak mungkin ini betul-betul terjadi!"

Semua yang berada di sekeliling lokasi itu hanya bisa menjadi saksi bisu. Isak tangis dan sedu sedan para penonton spontan memenuhi udara.

Bukan hanya semua zombie yang berada di arena, semua petugas yang menahan pagar juga turut tersengat arus listrik yang tak terduga itu! Akibatnya sungguh dahsyat. Bukan hanya semua zombie koleksi dokter Kenneth -termasuk Russell- yang terpanggang, melainkan jatuh belasan korban jiwa dari pihak penjaga kompleks Delucas!

Aroma sangit serta darah busuk kembali menguar. Korban di dalam dan di luar arena masih melekat pada pagar walau aliran listrik sudah dimatikan.

"Astaga! Ini sebuah tragedi! Ini di luar kehendak dan kuasaku!" Rose menjerit-jerit histeris. Mag yang juga masih shock berusaha keras menenangkannya.

"Yes, you're right. Please, calm down. Kita akan baik-baik saja. Ini bukan salahmu."

Orion tak bereaksi, masih menatap ngeri saat menyadari fakta ternyata Russell harus mati untuk kedua kalinya secara tragis.

"Maafkan aku, Teman. Aku sungguh tak berani melakukannya, tak kuduga ini harus terjadi kepadamu dan juga orang-orang tak berdosa yang mencoba menyelamatkan kompleks ini!"

Tetapi dugaan Orion semula -bahwa riwayat Russell sudah tamat- ternyata salah besar!

Meskipun para petugas dan zombie tewas, akan tetapi tidak dengan yang satu itu.

Dari antara tumpukan mayat zombie lainnya, perlahan sekali bangkit sesosok tubuh besar yang jelas-jelas belum mati. Sekujur tubuh dan busananya menghitam dan telah hangus, tetapi ia jelas belum menyerah.

"Aku... aku sungguh kesakitan. Tolong... bunuh saja aku..." tubuh besar dan kuat itu terlunta-lunta menyeret diri ke tengah arena, "Tuan Orion, jika kau ada di sini, kumohon... bunuh aku!"

"Russell!" Orion merasa hati kecilnya hancur. Mungkinkah karena Kenneth ia jadi begini merana? Nyaris abadi?

Orion tak ingin menunda lagi. Dititahkannya petugas untuk membukakan pintu gerbang arena baginya. Didekatinya Russell yang terkapar menggelepar-gelepar di tanah, begitu ingin mati tetapi tak dapat membunuh dirinya sendiri!

"Maafkan aku, Teman." berjongkok di sisi Russell, Orion tak lagi merasa takut.

"Sampaikan saja kepada keluargaku, aku mencintai mereka..."

"Baiklah. Pergilah dalam damai. Rest in peace, My Friend!"

"Terima... kasih..."

Orion meraih sepucuk senjata tangan kecil dari sakunya, menempelkannya ke pelipis Russell.

Lalu ditariknya pelatuk senjata itu.

Tak berisik karena berperedam, tak sakit karena begitu cepat. Dan semua penderitaan Russell pun berakhir, kali ini untuk selamanya.

***

"Orion!" Rani tetiba menjeritkan nama suami rahasianya.

"What the hell, Nona Rani! Ada apa dengan Papa Orion?" Leon mengguncang-guncang bahu gurunya.

"Oh! Aku tertidur! Mimpi, syukurlah hanya sebatas mimpi buruk!" Rani terjaga. Ia masih terduduk di bus. Semua penumpang memandangnya heran.

"Mengapa mesti nama Tuan Orion Delucas dan bukan namaku saja?" Kenneth tergelak, meski dalam hati ia sangat tak senang tiap Rani menyinggung nama saingannya itu.

"Oh, just forget it, maafkan aku. Just a light nightmare. Aku tertidur karena lelah." Rani buru-buru menambahkan.

"Pasti gara-gara kejadian tadi, Dokter!" Leon merutuk, "Anda tak ingin kita semua bertindak ceroboh, malah sebaliknya Anda yang pertama melakukan!"

"Uh, sekali lagi maafkanlah aku, semoga tak terulang lagi!" Kenneth tersipu, tak ingin lagi membahas hal itu, "Aku tak ingin mengungkit lagi. Lihat, kita hampir tiba di Chestertown."

Bus mereka ternyata tak bisa segera masuk. Barikade yang cukup tinggi berdiri menghalangi jalan masuk utama semua kendaraan roda empat ke Chestertown.

Gulungan kawat berduri dan segala bentuk gelondongan kayu berat dan batang pohon disusun dan dipancang tinggi membentuk pagar. Bus mereka parkir di dekatnya.

Kenneth menggaruk-garuk kepala, "Well, ini baru. Kemarin-kemarin belum ada. Mungkin kita harus parkir di sini dan masuk dengan cara berjalan kaki." 

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun