Alkisah, tumbuhlah dua rumpun bunga berbeda pada sebuah lahan di tengah kota besar Jakarta.
Mawar merah tumbuh di atas lahan subur berkarpet rerumputan hijau subur pada sebuah taman bunga untuk umum nan indah. Sedangkan tak jauh darinya, di balik pagar, tumbuhlah tanpa disengaja serumpun Pletekan. Bunga liar berwarna ungu yang biasa tumbuh di mana-mana. Tanah di sekitarnya keras dan kurang subur dibanding yang ada di taman.
Mawar kerap kali mengejek Pletekan, "Kasihan sekali dirimu. Kau hanya bunga liar saja, lihat, tak ada pengunjung taman ini yang mengagumimu."
Pada kesempatan lainnya, Mawar kembali mempertunjukkan keberuntungannya, "Lihatlah, aku disiram dua kali sehari, diberi pupuk dan dirawat sebaik mungkin. Akulah ratu dalam taman ini. Sedangkan kau? Alangkah malang nasibmu. Memang sudah takdirmu. Yang sabar, ya."
Pletekan pada awalnya merasa sedih, rendah diri serta malu. Ia memang bukan bunga yang biasa dirawat atau dijual di toko bunga. Keluarganya tumbuh berlimpah di tepi jalan. Sering dicabut dan dibuang begitu saja, dianggap tumbuhan liar yang tak berguna.
"Huhuhu, mungkin benar, dasar aku bunga liar yang tidak cantik! Nasibku tidak sebaik Mawar." Demikian ratap Pletekan dalam hati.
Semakin mekar dan tumbuh indah, Mawar semakin hari semakin sombong. Setiap ada pengunjung taman berhenti sejenak mengaguminya, memotretnya, ia semakin berani dan buka suara memamerkan keberuntungannya kepada Pletekan.
"Lihat, lagi-lagi datang manusia penggemar yang akan memamerkan fotoku kepada siapa saja. Aku jauh lebih populer dibandingkan dirimu."
Akan tetapi Pletekan tetap bertahan dalam segala kondisi yang ada. Tak lagi ia dengar celoteh Mawar yang semakin hari semakin sombong. Hanya akan menyakitkan hati dan tak bisa membantu apa-apa.
Rumpun Pletekan kadang berkurang atau bahkan terpaksa menderita kesakitan, kehilangan dahan atau bahkan batangnya karena dicabut petugas dinas kebersihan jalan. Akan tetapi akarnya tetap ada dalam tanah, bijinya bahkan tersebar luas. Setiap tetes hujan atau cipratan air dari petugas taman yang menyiram taman turut menyebarkan biji yang meletus dan berbunyi pletek-pletek. Anak-anak kecil yang lewat kerap mengambil bijinya juga dan menjadikannya mainan, melemparkannya ke kali.
Dengan cara tak disengaja itu, biji Pletekan semakin menyebar dan tumbuh di mana saja ia ditaburkan. Di pinggir kali, batu-batuan dan di mana saja. Ia tak terhentikan dan bahkan semakin banyak tersebar hingga ke seluruh penjuru Jakarta. Rumpunnya yang beruntung tumbuh subur semakin cantik. Bunganya mungkin sederhana saja, akan tetapi ungu segar manis dipandang.
Pada suatu hari, taman indah itu mendadak ditutup. Pemilik lahan yang digunakan mengalami kesulitan keuangan sehingga tak mampu lagi mengelola tamannya. Gerbang megahnya dikunci rapat, tak ada lagi pengunjung. Tak ada lagi tukang kebun dan petugas perawat taman yang biasa datang menyirami dan memupuki. Semua tanaman di dalamnya mulai menderita, termasuk Mawar.
"A-a-apa yang terjadi? Mengapa kami ditelantarkan begini? Aku haus, aku kepanasan, aku lapar. Di mana pupuk pilihan nan lezat dan air segar yang biasa disiramkan padaku? A-a-aku layu! Tolong! Pletekan, tolong! Aku ingin keluar saja dari sini! Ini sungguh tak lagi nyaman bagiku! Apa yang harus kulakukan?"
Pletekan yang masih terus tumbuh subur di luar tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa diam, terpaksa menyaksikan Mawar, temannya semakin hari semakin mengenaskan. Lama-kelamaan taman hijau indah permai itu berubah gersang. Ilalang menutupinya, tanaman hias semula sudah tak lagi terlihat, termasuk Mawar.
Pletekan hanya bisa merenung sambil berbisik lirih, "Maafkan aku juga, Mawar. Benar, aku mungkin hanya bunga liar saja. Akan tetapi betapa beruntungnya aku karena jika saja aku harus berada di posisi Mawar, aku takkan bisa berkembang dan tumbuh kuat seperti ini."
Tamat.
Pesan moral: di mana saja kita hidup, hendaklah kita bersyukur. Orang lain mungkin tampak selalu beruntung, akan tetapi asal kita terus berdoa, menanti dan berusaha, kesempatan dan keberuntungan bisa datang setiap saat bagi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H