Dengan cara tak disengaja itu, biji Pletekan semakin menyebar dan tumbuh di mana saja ia ditaburkan. Di pinggir kali, batu-batuan dan di mana saja. Ia tak terhentikan dan bahkan semakin banyak tersebar hingga ke seluruh penjuru Jakarta. Rumpunnya yang beruntung tumbuh subur semakin cantik. Bunganya mungkin sederhana saja, akan tetapi ungu segar manis dipandang.
Pada suatu hari, taman indah itu mendadak ditutup. Pemilik lahan yang digunakan mengalami kesulitan keuangan sehingga tak mampu lagi mengelola tamannya. Gerbang megahnya dikunci rapat, tak ada lagi pengunjung. Tak ada lagi tukang kebun dan petugas perawat taman yang biasa datang menyirami dan memupuki. Semua tanaman di dalamnya mulai menderita, termasuk Mawar.
"A-a-apa yang terjadi? Mengapa kami ditelantarkan begini? Aku haus, aku kepanasan, aku lapar. Di mana pupuk pilihan nan lezat dan air segar yang biasa disiramkan padaku? A-a-aku layu! Tolong! Pletekan, tolong! Aku ingin keluar saja dari sini! Ini sungguh tak lagi nyaman bagiku! Apa yang harus kulakukan?"
Pletekan yang masih terus tumbuh subur di luar tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa diam, terpaksa menyaksikan Mawar, temannya semakin hari semakin mengenaskan. Lama-kelamaan taman hijau indah permai itu berubah gersang. Ilalang menutupinya, tanaman hias semula sudah tak lagi terlihat, termasuk Mawar.
Pletekan hanya bisa merenung sambil berbisik lirih, "Maafkan aku juga, Mawar. Benar, aku mungkin hanya bunga liar saja. Akan tetapi betapa beruntungnya aku karena jika saja aku harus berada di posisi Mawar, aku takkan bisa berkembang dan tumbuh kuat seperti ini."
Tamat.
Pesan moral: di mana saja kita hidup, hendaklah kita bersyukur. Orang lain mungkin tampak selalu beruntung, akan tetapi asal kita terus berdoa, menanti dan berusaha, kesempatan dan keberuntungan bisa datang setiap saat bagi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H