Orion tahu jika tindakannya akan sangat mencurigakan apabila dilakukan diam-diam tanpa izin, maka ia sempatkan melapor kepada Henry Westwood sebagai kepala pelayan.
"Tuan Henry Westwood, apakah Anda sudah melakukan penyisiran dan pelacakan jejak di semua bangunan?"
"Ya. Sayang, belum ditemukan tanda-tanda keberadaan orang yang melarikan diri. Herannya, dari semua pengungsi yang terdata tim dokter Vanderfield, tak berkurang satu orangpun dari kamp Bennet. Jadi, siapa sebenarnya penggali lorong di tanah itu?"
"Kurasa aku perlu mencoba sesuatu. Karena tak ingin istriku Rose tahu, bisakah Anda membantuku merahasiakan ini?" Orion menambahkan sambil berbisik, "Hanya Anda yang bisa kupercaya di tempat ini."
"Oh, aku merasa tersanjung dengan kepercayaan Anda, terima kasih banyak. Meski saya tak begitu mengerti, saya akan coba."
"Baiklah. Akulah yang harus berterima kasih atas kerjasama Anda."
Melengkapi diri masing-masing dengan senjata dan alat pelindung diri, kedua pria itu lalu bersama-sama menuju ke depan bangunan garasi.
"Anda tunggu di sini, Tuan Henry. Kumohon, jangan biarkan ada orang lain mendekat."
"Tidakkah akan berbahaya?"
Orion tersenyum walau tak terlihat karena wajahnya tertutup masker, "Aku sudah sedikit berpengalaman jadi sudah tak takut lagi!"
"Oh, baiklah kalau begitu, just be careful!" Henry mengangguk. Ia sudah menyiagakan senjatanya, sepucuk senapan berburu. Ia selalu berharap takkan pernah harus menggunakannya.
Orion masuk. Pintu garasi itu kembali ia tutup. Tercium aroma pengap khas bangunan tua bercampur tanah dan anyir darah.
Tadi pagi aku tak seberapa sadar karena mengantuk, tetapi siang ini bau tak sedap begitu pekat menguar! Jika tidak dari bangkai, pasti dari luka yang membusuk!
Orion ingin sekali memanggil nama Rev. James, tetapi ia ragu. Atau barangkali karena ia tak siap menerima kenyataan? Bagaimanapun, ia harus tahu semua kebenaran sampai ke akar-akarnya!
"Selamat siang! Aku Orion Brighton. Siapapun kau, kumohon keluarlah. Aku akan menolongmu, aku janji takkan menyakitimu!"
Bermenit-menit berlalu. Tak ada jawaban. Orion mencoba untuk berkeliling melihat-lihat semua kolong mobil lama dan celah di antara kendaraan-kendaraan roda dua milik semua keluarga Delucas. Terlalu gelap untuk tahu apa atau siapa yang ada.
"Jika Anda tak menyerahkan diri, kami dengan amat terpaksa akan melakukan pembersihan dengan senjata!"
Akhirnya terdengar suara, bukan langkah-langkah kaki, lebih seperti tubuh bergeser atau terseret di lantai.
"Tetapi, aku sudah jatuh sakit. Tuan Orion Brighton, mengapa Anda datang ke sini? Segeralah pergi jauh-jauh dariku! Aku sudah bawakan yang kalian butuhkan. Sekarang kapan saja kalian bisa bebas dari sini..."
Suara itu!
Orion setengah berlari menghampiri sosok yang masih enggan menampakkan diri. Ia tahu, sungguh ia tak siap menghadapi kenyataan ini.
"Reverend James!"
Sosok pendeta tua itu nyaris tak dapat dikenali. Dalam keremangan, tubuh, wajah dan busananya yang kotor berlumur tanah basah cokelat bercampur darah sungguh tampak mengenaskan.
"Aku menepati janjiku. Walau aku diserang dalam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sini. Misi tercapai."
"Sir, you didn't have to do this! We came for you! Why did you care too much for us?" air mata Orion tak dapat ia tahan-tahan lagi. Walaupun ia pemuda yang tegar, baru kali ini ditemuinya sendiri korban infeksi Octagon yang belum lagi mati, namun kemungkinan besar tak dapat lagi ditolongnya.
"Jangan mendekat!" peringat Rev. James yang terbaring di lantai sambil berusaha menahan perihnya luka gigitan menganga pada lehernya.
"Tetapi Anda perlu segera ditolong! Tentu masih ada harapan dan mujizat! Akan segera kupanggilkan dokter!"
"Tidak perlu. Aku sudah selesai di sini. Aku sudah menang dalam pertandingan bertahan hidup, berhasil melewati garis akhir dan memperoleh mahkota kehidupan. Orion, aku sangat bahagia sudah berhasil melakukan misi mulia ini. Sekarang sudah saatnya bagiku untuk pulang ke Rumah Bapa di Surga..."
"No! You have to hold on! I already once lost someone I even didn't have a chance to meet and know, Russell, tetangga kamar isolasiku! Aku tak ingin kehilangan Anda juga! Anda sudah seperti seorang pengganti ayah bagiku!" hati Orion tak pernah merasa sehancur ini. Di Lab Barn, ia tak pernah bisa melihat saat-saat terakhir Russell dengan mata kepalanya sendiri. Namun saat itu ia bisa mendengar raungan kesakitannya yang luar biasa. Detik-detik penuh penderitaan seseorang yang berada di ambang maut mempertaruhkan nyawa...
"Orion, virus ini masih sangat baru. There is no cure yet..." Rev. James berusaha keras untuk tersenyum agar Orion tak terlalu sedih, "Perjuangkanlah hidupmu dan Ms. Maharani Cempaka sebagai penerus hidupku. Sampaikanlah maafku kepada adikku John. Ia juga seorang hamba Tuhan, ia bisa meneruskan kepemimpinan sepeninggalku. Katakanlah kepadanya, aku minta maaf jika sepanjang hidupku ada masalah apapun..."
"Tidak, Sir! Andalah yang harus bertahan, berhasil sembuh, dan mengatakan semua kepadanya, bukan aku!" Orion mulai meraung.
"Kau seorang pemuda yang baik dan berhati mulia. Hanya satu pesan terakhirku, kumohon, tembaklah kepalaku agar aku bisa beristirahat dengan tenang dan tak sempat bereanimasi. Makamkanlah aku sesuai dengan protokol kesehatan agar virus terkutuk ini tak menyebar dalam kompleks Delucas."
Tetiba mata Rev. James terbelalak lebar. Dari luka menganga di lehernya serta mulutnya menyembur darah kehitaman.
"Tidaaak! TIDAK!" Orion tak ingin berteriak, namun tak ayal suaranya keluar juga walaupun ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tak berbuat keributan.
"Ma-ma-maafkan aku..." itulah kata-kata terakhir dari sang pendeta sebelum meregang nyawa, kembali kepada Sang Pencipta.
"Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan..." Orion mengulurkan tangannya yang bersarung ketat untuk menutup mata Rev. James yang belum sempat terpejam.
"Ya Tuhan, tak pernah terpikirkan olehku harus melakukan semua ini seorang diri." Orion berdiri, sejenak berjalan gelisah dalam garasi yang kini terasa makin mencekam. Ia harus segera bertindak sebelum hal yang menimpa Russell kembali terjadi pada jasad Rev. James. Maka dimantapkannya hati, walau sangat berat, ia harus melakukan ini secepat dan setepat mungkin. Diraihnya shotgun dan membidik, bersiap-siap menarik pelatuk. Tetapi...
"Oh, no! It couldn't be true!"
Jasad Rev. James yang selama beberapa menit terdiam, tetiba bergerak-gerak kembali. Dimulai dari jemarinya, perlahan tetapi pasti, lalu tangannya mulai terangkat...
Apakah telah terjadi keajaiban?Â
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H