Lady Magdalene dan kedua remaja Delucas yang berada dalam mansion Brighton belum mengetahui semua yang terjadi di luar sana. Meski sempat tertidur sesaat; Leon dan Grace di sofa, Mag sendiri di kamarnya, hanya sekitar satu hingga dua jam saja ketiganya bisa terlelap saking lelah.
Entah rasa penasaran atau mimpi buruk apa yang kemudian menyentakkan mereka satu persatu kembali ke alam nyata. Grace tak terbiasa tidur di tempat selain kamar sendiri, ia yang pertama terjaga, nyaris seperti tersentak dibangunkan kekuatan tak terlihat.
"Pukul berapa ini? Sudah menjelang fajar? Kelihatannya Nona Rani dan Papa Orion belum juga kembali! Astaga, mereka sudah pergi lama sekali. Apa sebenarnya yang mereka lakukan di kota?" Ia mencoba menelepon ponsel Rani dan Orion. Sayangnya, tak ada sinyal. Kemungkinan besar memang operator selular di Chestertown juga sudah tak berfungsi.
"Leon, bangun! Papa Orion dan Nona Rani tak bisa dihubungi dan mereka juga belum kembali dari Chestertown!"
Leon sebenarnya enggan bangun, namun mendengar nama Rani membuatnya spontan terjaga sambil gelagapan, "Uh, a-a-apa? Nona Rani diserang zombie?"
"Tidak, Kak! Aku hanya heran mengapa sampai jam segini mereka belum juga kembali!"
"Jika kita berdua tak segera kembali ke main mansion, mama kita akan tahu semua ini lalu marah besar. Lalu untuk selamanya kita akan dihukum atau dikurung seperti yang biasa ia lakukan!" Leon sepertinya masih khawatir juga pada hukuman lama Lady Rose apabila mereka tak ditemukan di rumah, "Ayo kita segera kembali, tak usah pedulikan Papa Orion dan Nona Rani, aku yakin mereka bisa menjaga diri!"
"Bagaimana dengan Lady Magdalene?"
"Ia takkan kenapa-napa! Ayo, kita pulang duluan saja, tak usah membangunkannya!"
Leon bangkit dari sofa, segera membereskan barang-barangnya. Grace masih keberatan beranjak, "Bagaimana jika kita berpapasan lagi dengan rombongan keluarga zombie yang tadi?"
"Kita bisa berputar, cari jalan lain! Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!"
Keduanya tak lama kemudian sudah berada di luar mansion Brighton. Leon menyalakan mesin sepeda motor sport-nya dan memerintahkan adiknya naik.
"Tapi Kak..." Grace merasa enggan, intuisinya berkata 'jangan pulang tanpa bantuan orang dewasa' dan ingin tetap bertahan di sini.
"Sudahlah, pilih, kau ikut denganku atau kelak diamuk mama kita dan tak boleh lagi kemana-mana untuk selamanya?"
Akhirnya Grace naik juga ke boncengan. Kedua remaja itu bergegas pergi dengan semua bawaan mereka tanpa meninggalkan pesan. Sayangnya, ada satu hal yang mereka lupa lakukan...
Lady Mag yang tertinggal sendiri terjaga paling akhir, belum menyadari kepergian kedua tamunya. Ia bangkit dari ranjang dan bergegas keluar untuk menemukan ruang tamu yang kosong...
"Astaga, Leon, Grace, kalian ada di mana? Apa kalian pergi tanpa pamit? Ya Tuhan, seharusnya pintu utama tadi kukunci! Orion dan Maharani bisa marah besar jika kedua anak Rose hilang, Leon dan Grace juga bisa berada dalam bahaya besar..."
Lady Mag berlari ke pintu utama yang tak terkunci. Saat mengintip dari jendela, ia segera sadar ia tak lagi sendiri. Terburu-buru mengunci pintu, tak berhenti-hentinya ia berdoa dalam hati.
"Oh my God. Mereka betul-betul ada. Semoga Orion dan Rani serta anak-anak Rose tak apa-apa! Sekarang, apa yang harus kulakukan?"
***
"Kita bergegas ke mansion Delucas atau menjemput ibumu dulu dan anak-anak?" Meninggalkan kompleks gereja setelah berpamitan dengan John, Rani sudah kembali berada di jalan raya bersama Orion, yang tampak jauh lebih cemas dari sebelumnya.
"John tadi berkata jika Rev. James sudah lama pergi, seharusnya ia sudah lama tiba di mansion Delucas! Tapi sepanjang perjalanan tadi kita tak berpapasan dengan siapapun yang masih hidup!" Orion masih berusaha menganalisa semua yang dibicarakan adik Sang Pendeta Utama Chestertown, "Aku bahkan belum tahu apa-apa mengenai kedatangan Edward Bennet dan semua tentang kamp-nya itu!"
"Aku ingin memberitahukanmu, namun aku juga tak mengerti benar apa yang pria itu inginkan dari Rose." Rani memang belum sempat memberitahukan semuanya kepada Orion, bukan seorang tamu yang ingin ikut campur urusan majikannya.
"Sudahlah, nanti saja, sekarang kita jemput anak-anak dan ibuku, lalu segera mencari Rev. James. Aku khawatir saja. Jika terjadi sesuatu dengan dirinya, bagaimana nasib kita? Ia satu-satunya selain ibuku yang tahu dan juga memegang bukti pernikahan kita!"
"Ya, mari kita kembali!"
Rani belum mampu berpikir jernih, ia sudah sangat mengantuk. Dicobanya untuk berpegangan erat-erat pada tubuh Orion sambil melihat lurus ke depan. Berkonsentrasi pada jalan yang sepi dan membosankan, ia bersyukur mereka tak bertemu zombie.
Beberapa belas meter menjelang gerbang mansion Brighton, tiba-tiba mata Rani terbelalak. Ditepuknya bahu suaminya sambil berbisik tertahan, "Orion, stop. Lihat baik-baik di sana. Gerbang ganda rumah ibumu... terbuka lebar!"
Mata Orion menyipit, ia segera memadamkan lampu sepeda motor. Juga buru-buru mematikan mesin. Ia baru sadar dirinya dan Rani belum lama melakukan kecerobohan besar!
"Oh, bodohnya. Kita tadi pergi terburu-buru tanpa mengunci gerbang! Apa yang terjadi? Jangan-jangan anak-anak Delucas diam-diam pergi dengan sepeda motor mereka?"
"Tunggu dulu, selain itu aku curiga, ada tamu-tamu tak diundang masuk..." Rani yang malam ini baru mendapat dua pengalaman up, close and personal tak mau mengalami untuk ketiga kali.
Pasangan itu masih mampu melihat cukup baik dalam cahaya bulan dini hari cerah yang sebentar lagi akan beranjak pergi berganti fajar.
Dalam simfoni sunyi, beberapa sosok korban reanimasi mengembara tanpa arah di sekitar halaman main mansion Brighton. Mereka tak menggedor pintu, tetap saja, keberadaan mereka sangat berbahaya. Lady Magdalene sudah terkepung!
"Ya, kau benar, ibuku dalam bahaya besar! Mari kita tolong beliau. Ambil senjata apimu, Rani. Kali ini tak ada lagi waktu latihan. This is not a drill..."
Detak jantung Orion berpacu dengan waktu. Ia menurunkan ransel dan meraih sesuatu dari dalamnya. Senjata api laras sedang, sepucuk shotgun!
"Rani, kau bawa amunisi cadangan untuk pistolmu? Kau sudah tahu cara menggunakannya?"
"Ya, ada. Sedikit, kurang lebih seperti di film-film yang dulu kutonton..." Rani tak pernah menyangka akan terpaksa menggunakan senjata api secepat ini!
"Anggap saja kita sedang bermain tembak-menembak di taman rekreasi, oke? We can do it..."
Ini semua bukan impian terindah Rani, ia tak pernah menyukai 'permainan pria' semacam ini. Tetapi saat ini tak ada waktu, tak ada pilihan lain...Â
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H