"Hah? Bagaimana mungkin? Papa Orion dan Nona Rani? Sungguh keterlaluan! Kali ini kau terlalu mengada-ngada dan berlebihan!" Grace hampir saja tertawa lepas mendengar opini liar yang dilontarkan kakak lelakinya itu.
"Bisa saja. Mereka cantik dan tampan. Kelihatannya mereka cocok dan juga punya chemistry, suka atau tidak, kuakui aku merasakannya!"
"Mama kita sudah menikahi Papa Orion dan mereka tentunya sudah terikat! Papa Orion tentunya pria muda yang setia, jika tidak, mama kita takkan memilihnya menjadi pengganti papa kandung kita..."
"Jangan terlalu naif, Dik! Kita belum mengenal Papa Orion dengan baik, begitu pula mereka berdua. Terus terang, kurasa belum ada cinta tumbuh di antara mama kita dan Papa Orion!" Leon menambahkan. Bagaimanapun ia merasa jauh lebih lega setelah mengeluarkan satu uneg-uneg. Meskipun satu lagi ia takkan pernah ungkapkan, mengenai crush-nya dengan Rani!
"Uh, seolah-olah kau ini iri juga. Mungkin sudah saatnya kau cari pacar baru, Kak!" Grace belum menganggap serius semua yang Leon katakan.
Pemuda tanggung itu mengangkat bahu, "Ya terserah kau saja, Dik. Kita lihat saja nanti, apakah benar mereka berselingkuh dari mama. Kurasa itu semua ada hubungannya dengan Rev. Edward Bennet yang tiba-tiba muncul! Semua orang dewasa di kompleks kediaman kita sudah mulai tak waras gara-gara pandemi ini!" Leon merasa malas berdebat, "Sudahlah, aku mau tidur sebentar, sudah sangat lama aku tak begadang!"
Grace juga merasa lelah, maka ia mengucap selamat malam dan ikut memejamkan mata. Kedua remaja itu jatuh tertidur, duduk tersandar di atas sofa.
Sementara dari balik pintu kamar, ternyata Lady Magdalene belum terlelap. Beberapa kalimat Leon ia dengarkan.
Astaga, rahasia Orion dan Maharani bisa saja terbongkar. Dan Edward Bennet, betulkah ia ada di kompleks Delucas? Apa yang Rose lakukan? Sepertinya aku betul-betul harus bergabung di sana demi 'menjaga' agar Orion dan Maharani tetap 'aman!
***
Petualangan bermotor Orion dan Rani di Chestertown pada dini hari itu baru saja dimulai.
Keduanya berboncengan melalui beberapa barikade ala kadarnya di jalan utama. Nyaris tak ada penerangan di seluruh penjuru kota.
Melalui bantuan sorot lampu sepeda motor, kadang terlihat beberapa 'usaha' warga kota mencegah dan memperingatkan pada semua yang terjadi.
Hati-hati, Pandemi Octagon - Patuhi Protokol Kesehatan!
Chestertown Menolak Pendatang Baru!
Peringatan: Jika ada yang bertemu dengan zombie dalam kondisi apapun, segera lakukan pembersihan!
"Pembersihan?" bisik Rani sambil memeluk pinggang Orion lebih erat.
"Ya, seperti yang dilakukan dokter Kenneth dan timnya! Memang hanya itu cara untuk memastikan para korban reanimasi takkan 'hidup' lagi..." sahut Orion suram, teringat kembali kepada Russell yang masih sempat berkomunikasi dengannya sebelum 'pergi untuk selama-lamanya' lalu 'kembali' dalam 'wujud' berbeda.
"Aku juga bawa pistol kecil yang diberikan Rose," Rani mengaku, "semoga aku tak perlu menggunakannya. Seumur hidup aku tak pernah membunuh apa-apa kecuali nyamuk dan semut saja! Di Viabata banyak nyamuk saat musim penghujan!"
Orion nyaris tertawa, "Jika hanya membunuh serangga kecil, aku juga sering. Nah, akhirnya kita tiba di pertokoan seperti kemarin saat go downtown. Mungkin tutup semua untuk selamanya, penghuni-penghuninya entah ke mana..." Orion mematikan mesin sepeda motornya lalu turun. Bersama Rani ia berjalan ke satu gang kecil dan memarkirkan kendaraan roda dua itu di lokasi yang terlindung.
"Sekarang tetap waspada ya, kita coba cari apakah ada toko yang 'buka', pantau setiap pergerakan, kita tak tahu apakah masih akan berjumpa dengan survivor atau malah manusia terinfeksi. Nyalakan senter dengan cahaya minim." Orion memantau keadaan di sekitar mereka. Rani mengangguk. Pemuda itu berjalan duluan.
Keduanya bersama-sama maju sepelan mungkin, melangkah nyaris mengendap-endap. Kini menelusuri trotoar SOHO yang sunyi dengan pemandangan menyedihkan di sekitarnya. Tong-tong sampah terguling seolah-olah diacak-acak, kendaraan-kendaraan parkir acak dan terlantar. Tak banyak suara atau cahaya, sesekali lewat hembusan angin dingin saja seakan menyiratkan jika kota itu telah benar-benar hampa.
"Mungkinkah semua warga lokal yang tersisa bersembunyi atau sudah pergi jauh-jauh dari sini? Jika ada survivor, haruskah kita menolong mereka?" tanya Rani dengan suara kecil sekali.
"Bisa saja. Dan menurutku, jangan dulu. Intinya, tak ada yang bisa dipercaya sebelum ada tes seperti dulu pada Hexa. Nah, ini toko kecil serba ada yang biasa kulanggani. Ayo kita masuk!" Orion berhenti di muka sebuah toko. Ia berdoa semoga pintu utama tak terkunci dan segera menekan gagangnya.
"Permisi..." ucapnya perlahan sekali. Orion sudah mempersiapkan peralatan di ransel seandainya ada pintu-pintu yang perlu dicungkil. Seperti keajaiban, pintu toko itu ternyata tak terkunci!
"Waspada, Rani. Kita tak bisa santai-santai walau tak ada apa-apa atau siapa-siapa di sekitar sini!"
"Baik!" Rani tambah bersemangat saja, dengan adanya Orion di sisinya ia tak merasa takut.
Keduanya masuk sambil mengarahkan senter-senter kecil ke lantai.
Dengan takjub Orion mendapati jika toko itu sepertinya memang kosong dan tak terjaga. "Mungkinkah pemiliknya terburu-buru pergi? Ayo kita shopping sedapatnya dan segera pergi dari sini."
Keduanya memastikan ruangan panjang dengan beberapa belas rak itu aman, tak ada siapapun atau apapun yang berbahaya. Rani merasa segan, ia tak suka 'menjarah' seperti ini.
"Orion, apa tak apa-apa jika kita ambil saja semua yang kita butuhkan tanpa izin seperti ini?"
"Tentu saja. Nanti jika keadaan sudah pulih kembali, kita bisa membayar belanjaan kita kapan saja! Duh, minta maaf dulu sebelumnya!" Orion berakting seolah-olah minta izin kepada 'seseorang' di meja kasir.
Rani merasa geli dengan usaha suaminya merilekskan suasana, walau keadaan ini masih cukup menegangkan baginya.Â
Keduanya buru-buru mengisi ransel mereka dengan beberapa bahan makanan yang belum mereka miliki di kompleks Delucas. Orion setengah bercanda meraih beberapa kotak alat kontrasepsi lalu memamerkannya kepada Rani.
"Look what I've found! Dengan ini kau takkan kebobolan!" di balik maskernya Orion sedang menyeringai girang, disambut jengah Rani yang juga tak terlihat.
"Bagaimana jika Rose tahu? Tidakkah ia akan curiga?"
"Well, aku punya kamar sendiri di mana ia tak berhak melanggarnya!" Orion berjalan lagi ke rak lain dan meraih beberapa barang lagi.
Rani nyaris berteriak kegirangan saat menemukan mi instan Evernesia yang ia cari-cari berikut kecap manis dan asin, sambal botolan serta beberapa bahan masakan instan dari negerinya. "Dengan ini kita bisa membuat masakan yang lezat!"
"Ambillah, asal masih muat. Oh ya, bawakan juga oleh-oleh untuk Leon-Grace yang menunggu di mansion Brighton!"
Keduanya masih asyik shopping sambil berbincang pelan saat Orion yang sedang menghadap jendela depan-etalase toko tiba-tiba terdiam. Suasana berubah tegang, begitu pula ekspresi Orion.
"Hei, ada apa, Sayang?" jantung Rani serasa berhenti berdetak.
"Padamkan senter. Menunduk. Kita akan kedatangan tamu..."
(bersambung)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H