Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Anak Ramadan: Fatima dan Yemima (2 dari 2)

10 April 2023   15:59 Diperbarui: 11 April 2023   06:38 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via Pixabay

"Oh, hai, masuklah, Nona Yemima."

"Aduh, Fat! Jangan panggil aku Nona, kita 'kan sudah lama sekali berteman."

Yemima duduk di sisi anak yatim-piatu yang hingga kini masih menjadi sahabatnya itu. Usia yang tak jauh beda membuat mereka akrab. Meskipun demikian, Fatima belakangan ini jarang curhat pada Yemima.

"Kamu pasti sedang sedih." Yemima tahu pasti walau Fatima baru saja menyeka air mata. Bantalnya yang agak basah menunjukkan jika Fatima baru saja menangis, "Jangan khawatir, jika ada yang ingin kau ceritakan..."

"Aku baik-baik saja, Ye. Sungguh." Fatima berusaha tersenyum sambil merapikan hijabnya.

"Sudah buka puasa? Sudah ibadah tarawih? Beberapa hari lagi liburan tiba. Kita bisa main sepuasnya, juga merayakan Lebaran bersama! Ibuku juga gemar memasak opor dan ketupat, lho! Nanti kita buat bersama-sama, ya!" Yemima sejenak lupa jika hari raya yang dulu selalu dinanti kini menorehkan duka kepada sahabatnya yang terpaksa melanjutkan hidup sebatang kara, "Sungguh, kau  baik-baik saja? Kita belajar bersama di kamarku, yuk? Atau main bersama! Mau bermalam di kamarku juga boleh, seperti dulu saat kita masih kecil! Pasti seru, daripada kamu tidur sendirian di kamar ini." ia berusaha meriangkan suasana.

"Su-su-sudah Ye. Terima kasih. Kurasa aku hanya mengantuk. Jika kau tak keberatan, aku pergi tidur dulu ya. Aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk sahur dan salat. Besok kita masih masuk sekolah,'kan?"

Yemima menangguk, Fatima memang terlihat letih. "Baiklah. Besok kita berangkat sama-sama, ya? Selamat malam." ditepuknya sejenak bahu sahabatnya untuk memberi kekuatan.

***

"Fatima ke mana 'ya?" Yemima tadi berangkat ke sekolah sendirian. Pak Agung, sopir mereka pengganti almarhum Pak Setyo ayah Fatima, tidak berhasil menemukan Fatima. Hampir terlambat, terpaksa mereka berangkat hanya berdua saja. Bu Hartono tak urung merasa heran dengan gadis kecil yang sudah dianggapnya seperti putri sendiri. Sepanjang pagi hingga siang ia berusaha mencari ke sekitar kompleks elit perumahan mereka.

Yemima tadinya berpikir Fatima pasti duluan berangkat jalan kaki lebih pagi selepas sahur dan salat. Kadang memang gadis rajin itu melakukannya karena merasa tidak enakan kepada keluarga angkatnya. Lagipula jarak SD tidak jauh, tidak perlu naik kendaraan apa-apa, bisa dicapai dengan berjalan setengah jam. Akan tetapi dugaan Yemima kali ini salah.

"Oh, tidak! Apakah ada sesuatu atau seseorang yang hendak menyakiti Fatima?" cemas Yemima.

Dulu sekali pernah beberapa anak di sekolah elit mereka kurang menyukai kehadiran Fatima. Mereka menganggapnya berbeda hanya karena ia satu-satunya Muslimah. Namun Yemima yang selalu menemani dan membelanya setia berada di sisinya. Terutama setelah orang tua Fatima tiada, mereka sudah seperti sepasang saudari. Lama-kelamaan semua sahabat Yemima mulai bisa menerima Fatima. Bahkan mereka ikut bertoleransi dengan tidak makan-minum di hadapan Fatima saat berpuasa. Ternyata persahabatan antar sesama tak perlu berubah hanya karena iman yang berbeda.

Setelah lama mengingat-ingat apa yang pernah diinginkan Fatima, Yemima tersentak. "Astaga, aku tahu! Pasti Fatima pergi ke..."

***

Pulang sekolah, Yemima langsung meminta Pak Agung untuk mengantarkannya ke toko bunga langganan keluarga mereka. Ia yakin Fatima pergi ke sana walaupun sudah lama sekali dari pagi. Benar saja, di toko kecil berbentuk rumah kaca itu, Fatima sedang duduk tertunduk. Sebuah pot bunga kecil berisi tanaman Bunga Melati ia pegang erat-erat.

"Kau tidak ke sekolah pagi ini? Bu Guru dan Ibu cemas sekali. Ayo, kita pulang."

"Ye, tunggu, aku ingin sekali membelikan bunga kesukaanku ini untuk almarhumah ibu dan bapakku. Tapi aku tidak punya uang."

"Mengapa kau tidak meminta kepada Ibu atau Ayah? Harganya mungkin tidak terlalu tinggi. Pak Agung! Pinjamkan kami uang dua puluh ribu!" Yemima bermaksud meminjam uang dulu dari sopir mereka. Namun Fatima menahannya.

"Tidak usah, terima kasih. Aku masih punya uang saku, tak enak meminta kepada Pak Agung, apalagi orang tuamu, orang tua angkatku. Selama hampir setahun ini sudah begitu banyak mereka memberikanku segalanya. Mungkin aku ingin pulang kampung saja agar bisa dekat dengan makam ayah-ibuku." suara Fatima bergetar, "Allah mungkin tidak ingin aku hidup bahagia sepertimu. Mengapa orang tuaku harus meninggalkanku? Apa salahku hingga mereka mati? Apa yang dapat kuperbuat di Bulan Ramadan ini untuk membayar dosaku pada mereka? Aku hanya dapat membelikan ini saja dengan sisa-sisa uangku, lalu aku tak tahu lagi. Aku sungguh sedih, malu dan hancur."

"Fatima?" Yemima merangkul sahabat yang kini menjadi saudarinya itu, "Tuhan Yang Maha Esa tidak mungkin merencanakan yang kurang baik terhadap kita, umat manusia ciptaan-Nya. Mungkin aku tak bisa menghiburmu, akan tetapi Allah pasti punya jalan indah bagimu. Sebelum kejadian menyedihkan itu terjadi, kau telah dipertemukan-Nya dengan kami. Kau dilindungi. Kau dan aku akan selalu bersama hingga kita besar nanti."

Perkataan Yemima itu menyadarkan Fatima, "Benarkah Allah dan kedua orang tuaku mengampuniku dan memiliki rencana yang indah dalam hidupku?"

Yemima mengangguk. "Bagaimana jika pada liburan nanti kita mengunjungi kampungmu dan makam Pak dan Bu Setyo? Kau mau? Jangan khawatir, Ayah-Ibu bilang mereka juga ingin berziarah ke sana. Jangan khawatirkan masa depanmu. Kami selalu menerimamu apa adanya."

"Allah maha besar. Aku yakin almarhum-almarhumah orang tuaku berbahagia juga karena aku sudah menemukan keluarga baru. Aku mau, Ma. Terima kasih banyak, ya."

"Jangan berterima kasih padaku. Kau juga sudah mengajarkanku arti kebaikan dan ketabahan. Kita harus tetap saling menguatkan. Nah, bungamu sudah dibayar, ayo kita pulang."

***

Pada Hari Idul Fitri kali ini, beban Fatima memang masih ada. Semua duka dan luka hati tak semudah itu berlalu dari hidupnya. Akan tetapi kini ia kembali dapat menatap langit cerah, di mana ia percaya ayah-ibunya sedang tersenyum, menunggunya di awan-awan nan permai.

"Bapak, Ibu. Terima kasih sudah memberiku beberapa tahun penuh kebahagiaan. Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Sekarang saatnya bagiku menabur kebaikan di bumi bersama keluarga angkatku yang baru yang telah Allah anugerahkan kepadaku. Apapun perbedaan dan kesulitan, akan kujalani sambil tetap setia beribadah kepada Allah."

*** Tamat ***

Tangerang, 10 April 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun