Yemima tadinya berpikir Fatima pasti duluan berangkat jalan kaki lebih pagi selepas sahur dan salat. Kadang memang gadis rajin itu melakukannya karena merasa tidak enakan kepada keluarga angkatnya. Lagipula jarak SD tidak jauh, tidak perlu naik kendaraan apa-apa, bisa dicapai dengan berjalan setengah jam. Akan tetapi dugaan Yemima kali ini salah.
"Oh, tidak! Apakah ada sesuatu atau seseorang yang hendak menyakiti Fatima?" cemas Yemima.
Dulu sekali pernah beberapa anak di sekolah elit mereka kurang menyukai kehadiran Fatima. Mereka menganggapnya berbeda hanya karena ia satu-satunya Muslimah. Namun Yemima yang selalu menemani dan membelanya setia berada di sisinya. Terutama setelah orang tua Fatima tiada, mereka sudah seperti sepasang saudari. Lama-kelamaan semua sahabat Yemima mulai bisa menerima Fatima. Bahkan mereka ikut bertoleransi dengan tidak makan-minum di hadapan Fatima saat berpuasa. Ternyata persahabatan antar sesama tak perlu berubah hanya karena iman yang berbeda.
Setelah lama mengingat-ingat apa yang pernah diinginkan Fatima, Yemima tersentak. "Astaga, aku tahu! Pasti Fatima pergi ke..."
***
Pulang sekolah, Yemima langsung meminta Pak Agung untuk mengantarkannya ke toko bunga langganan keluarga mereka. Ia yakin Fatima pergi ke sana walaupun sudah lama sekali dari pagi. Benar saja, di toko kecil berbentuk rumah kaca itu, Fatima sedang duduk tertunduk. Sebuah pot bunga kecil berisi tanaman Bunga Melati ia pegang erat-erat.
"Kau tidak ke sekolah pagi ini? Bu Guru dan Ibu cemas sekali. Ayo, kita pulang."
"Ye, tunggu, aku ingin sekali membelikan bunga kesukaanku ini untuk almarhumah ibu dan bapakku. Tapi aku tidak punya uang."
"Mengapa kau tidak meminta kepada Ibu atau Ayah? Harganya mungkin tidak terlalu tinggi. Pak Agung! Pinjamkan kami uang dua puluh ribu!" Yemima bermaksud meminjam uang dulu dari sopir mereka. Namun Fatima menahannya.
"Tidak usah, terima kasih. Aku masih punya uang saku, tak enak meminta kepada Pak Agung, apalagi orang tuamu, orang tua angkatku. Selama hampir setahun ini sudah begitu banyak mereka memberikanku segalanya. Mungkin aku ingin pulang kampung saja agar bisa dekat dengan makam ayah-ibuku." suara Fatima bergetar, "Allah mungkin tidak ingin aku hidup bahagia sepertimu. Mengapa orang tuaku harus meninggalkanku? Apa salahku hingga mereka mati? Apa yang dapat kuperbuat di Bulan Ramadan ini untuk membayar dosaku pada mereka? Aku hanya dapat membelikan ini saja dengan sisa-sisa uangku, lalu aku tak tahu lagi. Aku sungguh sedih, malu dan hancur."
"Fatima?" Yemima merangkul sahabat yang kini menjadi saudarinya itu, "Tuhan Yang Maha Esa tidak mungkin merencanakan yang kurang baik terhadap kita, umat manusia ciptaan-Nya. Mungkin aku tak bisa menghiburmu, akan tetapi Allah pasti punya jalan indah bagimu. Sebelum kejadian menyedihkan itu terjadi, kau telah dipertemukan-Nya dengan kami. Kau dilindungi. Kau dan aku akan selalu bersama hingga kita besar nanti."