Di sekolah dasar swasta berskala nasional plus ini mungkin hanya Fatima, siswi kelas lima, satu-satunya gadis Muslimah berhijab. Semua teman-temannya tidak merayakan hari-hari besar agama seperti yang Fatima rayakan. Fatima kadang merasa kesepian dan hampa. Apalagi setelah kejadian tragis yang belum lama ia alami, tepatnya saat liburan Idul Fitri tahun lalu.
Mengapa Fatima bisa bersekolah di tempat ini? Kisahnya panjang. Sebenarnya Fatimah belum lama pindah ke Jakarta. Kedua orang tuanya bekerja sebagai sopir dan asisten rumah tangga di rumah Keluarga Hartono. Sikap Keluarga Hartono berbeda dengan citra orang-orang kaya perkotaan seperti yang Fatima biasa dengar di desa. Di luar dugaan Fatima, keluarganya yang sederhana diterima dengan baik oleh Bapak dan Ibu Hartono beserta putri tunggal mereka, Yemima. Yemima yang ternyata sebaya dengan Fatima juga menerima gadis itu dengan akrab. Dengan cepat mereka menjadi sahabat karib.
Bapak dan Ibu Hartono memperlakukan Keluarga Bapak dan Ibu Setyo, ayah-ibu Fatima seperti halnya anggota keluarga sendiri. Dengan cepat Fatima beradaptasi dan menjadi betah. Dua-tiga tahun pertamanya di Jakarta ia lalui dengan perasaan luar biasa. Bahkan atas kemurahan hati Pak Hartono, Fatima of didaftarkan ke sekolah yang sama dengan Yemima. Mereka duduk di bangku dan kelas yang sama. Meskipun seorang Muslimah, Bu Hartono mengusahakan agar Fatima mendapatkan pendidikan agama seperti yang selama ini dianutnya. Atas bantuan beliau, pihak sekolah memberikan kemudahan.
"Syukur alhamdulillah ya Pak, Bu, Fatima bisa ikut bersekolah bersama Nona Yemima."
"Iya, Nak. Rezeki anak soleha. Ilmu yang kau dapat kelak bisa kau gunakan untuk masa depanmu. Di mana saja, belajar dengan baik ya Nak. Buat Bapak dan Ibu bangga. Jangan kecewakan Keluarga Hartono yang sudah berbaik hati kepada keluarga kita." ujar Pak Setyo.
"Berteman dengan semua anak di kelasmu ya Nak, jangan pilih-pilih sahabat. Meskipun kau hanya seorang diri, kau harus bisa membawa diri, menjaga diri, bertoleransi."
"Insya Allah, Bu. Fatima mampu."
Nasihat itu masih terkenang hingga kini. Fatima tak dapat menahan derasnya air mata jika mengenang semua nasihat dan doa ayah-ibunya.
Liburan Idul Fitri tahun lalu telah memisahkan dirinya dari kedua orang tuanya untuk selamanya. Ia sering menangis sendirian di atas bantalnya terutama pada saat-saat seperti ini, menjelang satu tahun kepergian mereka ke surga.
"Ya Allah, andai saja waktu itu aku tidak memaksakan kehendakku..." sesal Fatima berkepanjangan. Lama ia tenggelam dalam kenangan yang kerap ia putar dalam benak.
Terkenang semua yang ia katakan pada saat Keluarga Hartono hendak berangkat berlibur bersama ke luar kota. Pak Setyo seperti yang sudah sering ia lakukan akan menyopiri mobil SUV keluarga itu. Tadinya ia hendak berangkat sendiri, 'toh perjalanan ke luar kota seperti itu sudah biasa ia jalani. Namun liburan kali ini Keluarga Hartono menawarkan agar Bu Setyo dan Fatima turut serta.
Tadinya Bu Setyo merasa tidak enak, ia khawatir jika keberadaan dirinya dan Fatima malah akan merepotkan Keluarga Hartono. Namun Yemima dengan setengah merengek merayu-rayu Fatima untuk ikut, "Ayolah, katamu kita bersahabat untuk selamanya, keberadaanmu malah akan menjadi teman bagiku. Kami tidak keberatan, masih ada banyak tempat dalam mobil, kok. Nanti di sana kalian boleh beribadah seperti biasa. Jika jalan-jalan atau makan-makan, kalian bebas juga mau ikut kami atau bepergian sendiri. Kalian juga bisa pulang mudik setelah acara ini, kita bisa sama-sama berkunjung ke desamu. Pokoknya pasti seru. Ayolah, setahun sekali saja! Mau ya, ya?"
Akhirnya Fatima jadi ingin juga, apalagi selama ini keluarganya jarang sekali punya kesempatan berlibur. "Boleh juga, yuk, kapan lagi, Yah, Bu? Boleh ya? Asyik! Nanti kita main sama-sama, naik kuda, memetik sayur dan strawberi! Apalagi bisa sambil mudik juga."
Pak dan Bu Setyo setuju dan tak lupa berterima kasih kepada majikan mereka, "Terima kasih banyak, Pak, Bu Hartono. Kami setuju. Syukurlah, semoga kita semua selalu diberi berkah dan kelancaran."
"Amin, Tuhan memberkati."
Akhirnya Fatima dan ibunya jadi ikut serta. Suasana pada pagi hari keberangkatan itu sangat cerah dan ceria. Pak Setyo duduk di belakang kemudi, Pak Hartono di jok penumpang depan tepat di sisinya, sedangkan para wanita duduk bersama-sama di jok belakang. Semua perlengkapan liburan; koper-koper pakaian, perbekalan piknik, alat ibadah keluarga Setyo sudah tersusun rapi di bagasi.
Jalan tol yang mereka lalui masih sepi, belum deras arus mudik. Pak Hartono memang sudah mengambil waktu liburan agak jauh sebelum hari-hari di mana arus mudik membuat jalan antar kota macet.
"Ayah, awas!"
"Astagafirullah!"
Fatima tak sanggup mengingat momen-momen di mana ayahnya berusaha keras mengerem laju kendaraan saat detik-detik bencana itu tiba. Rem mobil SUV cukup pakem, akan tetapi jarak antara kendaraan-kendaraan yang berada di depan mereka semakin dekat. Kecelakaan tragis tak terhindarkan. Terjadi tabrak-menabrak beruntun yang disebabkan kendaraan terdepan mendadak tergelincir akibat genangan oli. Keluarga Hartono dan Fatimah hanya mengalami luka-luka ringan, akan tetapi nyawa Pak dan Bu Setyo tak mampu diselamatkan. Setelah beberapa hari dirawat, mereka pergi menjelang hari raya Idul Fitri.
Bagaimana mungkin Fatimah bisa lupa? "Seandainya aku tak jadi ikut, mungkin aku dan Ibu menjaga rumah saja, apakah Ayah juga akan..." Fatima sering sekali menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja waktu bisa diputar balik, mungkin Ramadan ini...
Pintu kamar diketuk perlahan. Buru-buru Fatima menyeka air matanya.
"Fat, kamu belum tidur?" terdengar suara Yemima.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H