Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romansa Thriller Apocalypse Episode 57)

2 Maret 2023   15:52 Diperbarui: 3 Maret 2023   07:07 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria malang bernama Russell itu hanya bisa meraung sekeras-kerasnya saat menyadari bahwa informasi kru medis itu adalah kenyataan terpahit dan tersakit yang pernah ia dengar dan alami selama hidupnya.

"Tidak mungkin! Keluarkan aku dari sini! Aku ingin kembali ke kotaku, keluargaku, rumahku! Kembalikan aku ke zaman sebelum ada Hexa dan Octagon!"

Namun kru medis dokter Kenneth itu hanya bisa menggeleng sambil mengucap kata maaf, lalu bergegas pergi meninggalkan ruangan, menguncinya baik-baik.

"Awas kalian semua yang telah berani-beraninya mengamputasiku tanpa izin, lalu mengurungku di sini! Aku tak bersalah dan tak rela kehilangan anggota tubuh dan hidupku! Tunggu pembalasanku!"

Sekali lagi Russell meronta, berusaha keras untuk bangkit. Namun semua usahanya sia-sia. Rasa sakit luar dalam tak terperi terus ia rasakan menjalari raga hingga sekali lagi harus terhempas ke atas ranjang pasien, terjatuh kembali menuju dasar jurang alam bawah sadar nan hitam-biru tanpa dasar.

***

Beberapa jam sebelumnya, kembali pada dialog rahasia Maharani dan Leon di luar ruang makan. Suasana masih cukup membingungkan, terutama bagi si guru muda.

"So, what do you think? Apa Anda bersedia menerima tawaranku?" Leon Delucas masih setia menunggu jawaban Maharani dengan jantung berdebar-debar.

"Uh, bagaimana ya? Aku memang... lajang, tetapi..."

"Anda tak memiliki tunangan atau kekasih di Evernesia. Kalaupun ada, ia tak mungkin Anda bisa temui dalam krisis ini." Leon semakin berani mendesak, begitu yakin Rani takkan bisa menolak.

"Mengapa kau bisa begitu yakin?"

"Aku sudah ikut membaca surat lamaran kerja yang Anda kirimkan dari Everlondon. Single. Apakah aku salah jika mencoba mendekati sesama lajang seperti Anda? Di negeri ini usia dan asal negeri antara pasangan cukup jarang menjadi masalah."

Rani menarik lalu menghela napas panjang. "Baiklah, namun dengan dua syarat."

"Apa itu? Apapun yang kubisa akan segera kupenuhi! I'm already a gentleman!" Leon kembali antusias.

Rani melirik kanan-kiri, lalu berkata pelan sekali, "Pertama, aku tak ingin kau sentuh. Kedua, aku tak mau menjadi pasangan sungguhanmu. Menemanimu sebentar saja mungkin masih bisa kulakukan. Baiklah, satu kali piknik atau naik kuda, mungkin aku bisa meluangkan waktu."

Leon terdiam. Sesungguhnya ia mengidamkan hal-hal yang lebih dari itu. Bukan lagi bocah ingusan, ia telah tumbuh besar dan siap dianggap sebagai seorang pria dewasa, mampu bersikap dan bertindak sesuai kehendak. Tetapi wanita di hadapannya ini seorang gadis dari Everasia, benua yang masih menjunjung tinggi budaya ketimuran yang sopan.

"Baiklah, jika Nona Rani sendiri yang meminta begitu, aku takkan menolak. Untuk saat ini kurasa tak apa-apa. Aku pria yang menepati janji. Mari ikut denganku."

Leon mengantar Rani menuju suatu ruangan yang selama ini tak pernah ia duga bahwa tempat itu telah disulap menjadi 'markas rahasia keluarga Delucas'.

"Ruang pantau CCTV?" Rani bergidik. Puluhan monitor real time itu memperlihatkan hampir semua sudut di dalam peternakan, pengolahan bahan makanan dan tentu saja di sekeliling pagar hidup tinggi dan batas-batas lahan kompleks Delucas. Begitu sepi dan suram tanpa tanda-tanda kehidupan, jauh berbeda dari biasanya.

"Ya, ini baru dan tidak untuk diakses semua orang. Kumohon, rahasiakanlah keberadaan tempat ini dari siapapun. Yang tahu baru hanya mamaku, Kenneth dan aku. Bahkan Grace, Papa Orion dan Henry Westwood saja belum kami beritahukan. Rencananya kami ingin bergiliran berjaga di ruangan ini walau entah mulai kapan."

Rani duduk di sebuah kursi sementara Leon menyalakan sebuah komputer di mana sebuah alat terpasang, perekam serupa video yang bisa menyimpan data.

"Coba Nona Rani perhatikan baik-baik. Menurut Anda, siapa pria yang ada di rekaman itu?"

Semula Rani tak dapat menangkap visual apa-apa kecuali sosok samar yang tergeletak di jalan. Namun seseorang yang kemudian muncul sangat ia kenal.

"A-a-apa?" Orion! Rani segera sadar ia juga ada di sana tadi malam atau lebih tepatnya, dini hari. Akankah Leon tahu juga jika aku ada di sana?

Rani lama berdiam diri, tak ingin membocorkan semua. Dibiarkannya Leon yang kemudian bertanya sendiri, "Menurutmu, betulkah itu Papa Orion? Bagaimana mungkin ia bisa berada di sana pada jam yang sedemikian aneh, witching hours? Dan apa yang ia lakukan?"

Di kejauhan, hanya terlihat lampu sepeda motor Orion dan tak ada sosok Rani sebab keadaan sekitar sangat gelap.

Bagaimana ini? Haruskah aku jujur mengakui jika memang aku dan Orion ada di sana?

***

Orion dalam kesendiriannya sudah menghabiskan hampir semua jatah makanan dan air minum. Ia merasa sedikit jauh lebih baik untuk satu-dua jam pertama, tetapi rasa haus dan laparnya tak lama kembali datang. Tubuhnya juga kadang menggigil, kadang malah terasa begitu panas hingga ia ingin menceburkan diri ke bak mandi berisi air dingin.

Tidak, perasaan ini hanya sementara saja, aku tak boleh terlalu sering basah. Ini sama seperti flu biasa, jangan mandi dulu, jangan banyak bergerak, tidur saja, aku butuh tidur nyenyak.

Orion mengambil selimut dan membalut diri sebaik-baiknya sambil mencoba beristirahat. Dipejamkannya mata, mencoba membayangkan kembali semua memorinya bersama Maharani. Sebentar lagi genap 24 jam mereka bersama-sama sebagai suami istri. Namun 'kebersamaan' mereka kemarin masih begitu singkatnya, padahal keinginan yang satu itu belum lagi terpuaskan.

Rani, izinkan aku bertemu denganmu sebentar saja malam ini, walau hanya dalam mimpi...

(bersambung besok)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun