Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romansa Thriller Apocalypse Episode 51)

28 Februari 2023   13:15 Diperbarui: 28 Februari 2023   13:23 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi edit pribadi

"A, a, apaan ini? Siapa kau? Si, si, sialan!" Pria itu terhenyak. Tubuhnya berusaha berbalik walau kakinya yang sebelah masih tertahan dalam genggaman erat 'si orang asing' pertama, "Stop it, both of you!"

Orang asing kedua berwajah pucat membiru mirip rekannya itu tampak 'gembira', nyaris seperti ingin bicara, Akhirnya kami menemukanmu!

Namun tak sepatah katapun terucap dari bibir hitam dan mulut gelap berbau busuk itu. Ia hanya menyeringai semakin lebar sambil mencengkeram erat-erat bahu si pria bersenjata.

Bibirnya komat-kamit seolah ingin berkata tanpa suara, Aku lapar... aku haus... aku tak bisa bernapas, tolong aku!

"Le, le, lepaskan aku, atau kalian akan kutembak! Senapanku ini sudah berisi peluru, siap untuk membu...!"

Ia belum lagi sempat menyelesaikan kalimatnya. Kedua pria aneh itu tiba-tiba membuka mulut mereka lebar-lebar. Bagaikan dua makhluk kelaparan, sepatu dan bahu jaket pria bersenjata itu mulai mereka gigit dan cabik-cabik.

Dor! Dor! Dor!

Tampaknya tembakan senapan membabi buta itu tak berpengaruh banyak. Menembus bagian tubuh kedua lawan pada dada dan punggung mereka, namun sama sekali tak berhasil menghentikan perbuatan mereka.

"Tolong, tolong, tolong aku! Please, anybody, help me!" Tentu saja, di daerah sesunyi pinggiran Chestertown, pertolongan takkan pernah tiba bagi si pria malang.

Walau darah kental berwarna hitam dari luka tembakan mereka mulai deras membasahi aspal, kedua makhluk aneh sama sekali tak kesakitan, apalagi sampai berhenti menikmati mangsa pertama mereka itu.

Pria bersenjata itu jatuh tersungkur di jalan, pelurunya habis sia-sia. "Kalian... Dasar makhluk terkutuk!" Makinya di sela-sela rasa sakit luar biasa dan putus asa. Darah merah segar dari kaki dan bahunya mengucur semakin banyak. Ia mulai kehilangan kesadaran, kejang-kejang parah seiring dengan anggota tubuhnya yang mulai putus; sebelah kaki dan sebelah lengan. Kedua makhluk aneh itu asyik menyantap 'porsi' masing-masing bagai steak nan lezat, hingga tiba-tiba...

Dor! Dor!

Tembakan kembali terdengar memecah kesunyian Chestertown, dua butir peluru baru saja bersarang di kepala kedua makhluk aneh. Mereka jatuh tersungkur. Tewas? Kelihatannya begitu.

"Cih..." sosok pria berjubah putih yang baru saja membidik dan menembak dari jarak belasan meter menggeleng-gelengkan kepala. Ia bermasker, menggunakan pelindung rambut dan tentu face shield kualitas terbaik seakan telah tahu semuanya sedari awal. Sang dokter muda Kenneth Vanderfield!

"Syukurlah cukup tepat, walau kita datang sedikit terlambat!"

Ia tak ingin mendekat seorang diri. Lima pegawai kompleks Delucas di belakangnya, mengenakan seragam baju hazmat sesuai protokol kesehatan ketat, dititahkannya untuk maju dan mulai bekerja. Dua body bag plus satu tandu bertudung telah mereka persiapkan.

"Berhati-hatilah pada korban pria ketiga itu. Dia sepertinya sudah tiada, tetapi bisa saja akan hidup kembali. Coba beri pertolongan pertama, bawa ke ruang isolasi."

Sementara tak jauh dari sana, lebih tepatnya dalam kompleks Delucas, para kepala pegawai dan tentu saja Leon dan Lady Rosemary menonton, walau hanya dari kejauhan sambil mengenakan perlengkapan sesuai protokol kesehatan.

"Dear My Son Leon, kau sesungguhnya tak perlu ikut-ikutan datang kemari! Anak kecil tak punya urusan apa-apa di sini." Lady Rose memarahi putranya.

"Aku, seorang anak kecil berusia 17 tahun? Come on. Dua suara tembakan tadi sudah cukup membangunkanku, Ma. Padahal aku masih sangat mengantuk pagi ini! Kurang tidur semalam...Hoammmh!" Leon menggeliat lebar seperti saat bangun tidur, menunjukkan jika ia bersungguh-sungguh.

"Oh ya, Grace, Rani dan Papa Orion belum kulihat pagi ini. Mustahil mereka tak ikut mendengar bunyi keras dua tembakan itu!"

"Grace masih sarapan di pantry, tak ingin keluar melihat kejadian menghebohkan itu. You know my little sister, Ma. Ia berbeda 180 derajat denganku."

"What about Orion?"

"Sejak tadi malam..." Leon sudah hampir kelepasan mengenai yang ia lihat sendiri dini hari tadi di CCTV, namun sadar tak ingin membuat kehebohan tambahan saat ini, "kurasa ia ada di kamarnya sendiri."

"Dan Nona Rani?"

"Kurasa... uh..." Leon merasa pipinya merona, untung ia mengenakan masker hingga ibunya tak melihat, "Nona Rani mungkin ketiduran, semalam tentunya diberi obat oleh Kenneth agar ia bisa beristirahat setelah merasa kurang enak badan!"

"Baiklah. Kehebohan pagi ini sudah cukup membuatku sedikit panik. Walau Everopa sudah masuk zona merah, kuharap tak sedikitpun jejak virus Octagon memasuki kompleks ini!" Lady Rose mulai tegas memberi petunjuk kepada semua pegawainya, "Tak ada orang luar yang boleh mendekati Kompleks Delucas. Sebaliknya, tak ada juga seorangpun dari kita boleh keluar dari pagar ini! Siapapun yang melanggar akan diisolasi, jika perlu, akan dihadiahi tindakan pencegahan yang tak ingin dilakukan! Sekian dan terima kasih!"

"Hei, Ma, bagaimana dengan tiga zombie di luar sana?" Leon tahu, istilahnya ini sedikit mengerikan, namun dirasanya paling tepat.

"Well, untuk dokter Kenneth, telah kusediakan sebuah lumbung kosong untuk dijadikan ruang isolasi dan laboratoriumnya. Ketiga zombie itu akan dibawa ke sana. Anak Muda, I remind you, do not enter!" Lady Rose sadar jika Leon sudah sering merasakan hukuman. Kali ini, putranya juga pasti akan menurut.

"Uh, yes, Ma'am. Aku juga tak berminat." Leon menjawab cepat-cepat. Namun dalam hati ia menambahkan, Untuk saat ini, ya. Tetapi nanti... astaga, aku harus memecahkan misteri Orion, misteri Rani, dan juga zombie-zombie ini! Kini semua mimpi buruk di deep web menjelma nyata!

***

Rani terbangun agak siang. Ia sempat mendengar dua suara kencang dari kejauhan, mirip letusan senjata api. Namun ia tak terlalu tertarik.

"Mungkin Leon dan Kenneth berlatih tembak-menembak lagi. Aduh, hari ini ada jadwal mengajar pukul sepuluh. Aku tak boleh terlambat!"

Rani hampir lupa jika ia baru saja menghabiskan malam pengantin bersama Orion, meski hanya beberapa jam. Begitu membuka pakaiannya untuk mandi, dilihatnya beberapa tanda yang ditinggalkan pemuda itu di beberapa bagian tubuhnya, terutama leher. Bekas ciuman dan gigitan mesra suami dadakan! Sedikit pedih saat terkena air dan sabun, namun ia harus membersihkan tubuh lagi, lalu menutupnya baik-baik dengan syal.

'Duh, Orion. Is he okay? Kuharap ia baik-baik saja! I just have to find out as soon as possible!' Rani bergegas menyelesaikan ritual pagi, lalu keluar dari paviliun. Seseorang telah menunggunya di luar.

"Uh, Le, Leon? Selamat pagi. Mengapa kau datang sendirian ke paviliunku?"

(bersambung)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun