Terlalu nyastra, apa pula itu?
Sederhananya ibarat perumpamaan berikut ini. Pernahkah melihat sebentuk pemandangan alam pedesaan ala anak-anak? Biasanya pasti ada gunung, jalan, matahari dan awan. Kadang ada satu rumah. Kadang ada juga sungai dan pepohonan.
Lukisan itu saja sudah mencerminkan sebuah pemandangan yang jelas. Namun ada kalanya pelukisnya kreatif atau malah kepo menambahkan benda-benda lain entah alami atau buatan.
Tidak apa-apa jika memang make sense alias ada hubungannya. Misalnya ada bunga di tepi jalan, ada ayam jantan berkokok. Masih cukup nyambung alias relate.
Akan tetapi batas antara kreatif dan kepo sesungguhnya begitu tipis. Bayangkan jika ditambahkan gajah, dinosaurus, atau kapal laut. Sudah bukan sebuah pemandangan gunung lagi, bukan?
Demikian pula dengan tulisan fiksi yang terlalu nyastra. Bukan terlihat indah dan nikmat dibaca serta mudah dimengerti, malah menjadi lebay.
Apa yang membuat sebuah fiksi menjadi nyastra?
1. Pemakaian diksi alias kosakata dan sinonim pengganti yang berlebihan.
Misalnya: Sang surya jingga netra hari menyala ibarat lentera, perlahan beranjak bangkit dari peraduannya nan berselimut mega-mega kelabu tipis menerawang di cakrawala fajar merekah indah nan tadinya gelap gulita bagai jelaga. (Jangan harap bisa menemui kalimat ini dalam kisah fiksiku).
2. Penggunaan kalimat yang terlalu dipanjang-panjangkan demi mengejar jumlah kata.
Misalnya: Dengan santainya ia berjalan ke sana ke mari sambil lihat kiri lihat kanan putar kiri putar kanan lalu kembali duduk di tempat duduknya sambil mengangkat kaki dan bertopang dagu dan menguap lebar-lebar. (Jangan harap bisa membaca kalimat semacam ini dalam kisah fiksiku).
3. Pemilihan nama tokoh yang terlalu panjang, ingin terdengar dan terbaca wah-wah, namun malah berbelit-belit dan susah untuk diingat dan dibedakan oleh pembaca.
Misalnya: Chantique Scully Indah Mentari Putri Alamakjang Ahik-ahik (Jangan harap nama semacam ini saya gunakan dalam kisah fiksiku).
Apa akibatnya jika kita terlalu nyastra?
1. Pembaca akan merasa pusing sendiri dan akibatnya malah malas melanjutkan.
2. Alih-alih jadi suatu kisah yang menarik, malah akan terkesan terlalu fantastis (bukan fantasi, ya) dan berlebihan, sehingga sudah di luar nalar dan pemikiran.
3. Alih-alih dicap sebagai penulis yang sudah mampu membangun minat pembaca, percayalah, bahwa sebagian besar pembaca sebenarnya tidak akan menikmati. Akan tetapi karena sudah terlanjur, sebagian akan tetap mengikuti walau dengan setengah terpaksa.
Jadi, apakah karya kita sudah tampil sederhana, namun mengena dan cukup makna, atau malah terlalu berlebihan bin kelewat nyastra?
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H