Aku takkan pernah lupa pada tatapan meledek mata hitam sipit Sang Pemuda Barista di balik konter kedai kopi kecil itu. Ia lumayan tampan, mungkin usianya sedikit lebih muda dariku. Setahun atau beberapa bulan. Kulitnya putih bersih, sesungguhnya ia lebih cocok jadi model daripada seorang karyawan kafe mungil pinggir jalan begini. Wajah baby face khas Asianya mengingatkanku pada artis Korea yang dijuluki face genius. Huh, saatnya kembali bersikap bodoh amat, sepertinya ia bakal ke-ge-er-an jika kutatap berlama-lama. Sekilas kucuri pandang pin nama di kiri atas celemek hitamnya. Namanya singkat saja, Rey.
"Nama Anda, Nona?" berlagak belum kenal, ia hendak menuliskan namaku dengan spidol pada gelas plastik ukuran besar kopi susu dingin rasa alpukat dengan topping whipped cream.
"Joy. Cukup Joy saja, gak usah pake ucapan terima kasih, selamat pagi, siang, sore, malam dan lain-lain! Itu hanya basa-basi."
"Oke, baiklah, keinginan terkabul! Wah, jadi sekarang Anda sungguh-sungguh beralih ke kopi betulan, bukan lagi peminum kopi dan sudah jadi pecinta kopi, eh?" barista Rey menyeringai, ada kesan nakal menggoda tersirat di sana. Ah, kurasa hanya imajinasiku saja.
"Hampir gak pernah singgah di kafe kecuali ada diskon 50 persen, Tuan Rey," sahutku acuh gak acuh, "Harga segelas atau secangkir kopi kafe sekian puluh ribu perak termasuk mahal untuk ukuran saku mahasiswi desain miskin anak yatim sepertiku. Udah diskon aja, harga segelas kopi ini biasanya bisa buat beli 10 saset kopi instan!"
Barista Rey tersenyum. "Ini kopi Anda, Nona Joy. Semoga suka. Terima kasih. Oh ya, jika boleh saya berpendapat. Tidak biasanya seorang gadis muda ingin tambahan whipped cream, saya sesungguhnya lebih merekomendasikan secangkir atau segelas kopi susu tanpa gula."
Kebetulan kedai kopi pagi itu sedang sepi karena baru buka, jadi aku memberanikan diri meleletkan lidah dengan cuek, "Terserah aku dong, Tuan! Aku dari dulu memang penggemar es krim (terutama rasa yang anti mainstream) dan whipped cream. Gak pernah ada agenda menu diet rendah garam atau rendah gula dalam resolusi tahun baruku. Timbunan lemak bergelambir aku gak punya, makan apa saja beratku tetap segini! Badanku ada naganya kali ya?"
Duh, kok bisa-bisanya aku tiba-tiba curhat colongan panjang lebar konyol begini pada cowok yang belum begitu kukenal, sungguh memalukan! Cowok barista yang secara gak sengaja kukenal di sebuah minimarket gak jauh dari sini beberapa hari silam.
Pagi beberapa hari lalu itu aku sedang cuci mata memilih-milih kopi instan saset yang sedang diskon di rak. Lumayan, ada yang beli delapan gratis dua. Kebanyakan belum pernah kucoba. Walau suka minum kopi, terus terang aku kudet. Aku lebih suka kopi biasa alias kopi hitam atau kopi susu saja. Rasanya eneg jika membayangkan kopi rasa-rasa aneh bahkan jika bahannya enak atau makanan favoritku sekalipun. Kecuali alpukat, entah mengapa buah berdaging creamy hijau muda lembut itu cocok sekali dengan kopi. Bahkan jika minum jus, aku suka menambahkan beberapa sendok kopi kental tanpa gula agar jus alpukat lebih wangi.
Beberapa merek yang sering muncul di iklan televisi tentu saja tersedia. Di shelftalker alias iklan-iklan rak mini tertulis Kopi Asli 100 Persen Murni dengan Susu Sapi Murni dan Gula Tebu Asli! Padahal jika kita cermati, pada komposisinya ditulis kecil sekali (hingga nyaris perlu kaca pembesar atau mikroskop!) jika kandungan kopinya hanya sekian persen, susunya hanya sekian gram, yang paling banyak ya krimer nabatinya plus perisa kopi dan pemanis buatan yang konon kurang sehat meski cuma dalam porsi miligram-miligraman. Waduh, auto gak jadi belilah, serem amat 'sih! Belum lagi ditambah rasa vanila, cokelat, mawar, vanila, tiramisu, permen karet, nata de coco atau apalah! Mau dilabeli selera massal semilyar umat, hype, kekinian atau viral, masa bodoh, pokoknya enggak banget untukku, Si Kaku Konservatif Joy! Sementara aku masih ragu-ragu, terdengar celetuk.
"Kopi instan beginian 'mah bukan kopi beneran, Nona! Kebanyakan sebenarnya kopi jagung, lho... Tahu apa itu kopi jagung?"
Suara rendah cowok muda di belakangku itu membuatku menoleh. Aneh juga orang ini, berani-beraninya bicara pada cewek gak dikenal, jangan-jangan dia pria iseng yang sedang ingin kenalan, curi-curi kesempatan di tengah kesempitan! Apa 'sih yang menarik dariku, cewek tomboy berkacamata minus delapan yang pemalu dan kesepian?
"Hah? Kopi jagung, kayak di zaman perang itu? Masa 'sih? Jadi, kopi yang beneran itu yang seperti apa, uh, Tuan..." kubalas saja kata-katanya sambil mengira-ngira usia Si Pemuda Asing, mungkin sedikit lebih muda dariku. Berkulit putih bersih dan berambut hitam khas Asia, penampilannya boleh juga. Beda-beda tipislah dengan oppa-oppa Korea di drakor kegemaran teman-temanku yang tidak seberapa suka kutonton.
"Rey. Barista baru di kafe kecil dekat-dekat sini. Masih dalam probasi, masa percobaan tiga bulan. Salam kenal!" tanpa ditanya ia pede memperkenalkan diri.
Kelihatannya sok dekat sok akrab sekali. Tentu saja aku tak terpancing. "Oh ya? Salam kenal kembali juga. Nama saya Joy. Jadi seperti apa 'sih kopi yang sungguhan itu, yang bukan kopi jagung?" aku berusaha cuek bin dingin, gak ingin menaruh perhatian, memalingkan keempat mataku darinya.
"Kopi sungguhan wanginya beda, jelas dari biji kopi segar yang digiling dan langsung diseduh. Kopi-kopi yang sudah di dalam saset jelas bukan dari kopi bermutu tinggi semacam itu, melainkan hanya kopi kualitas kesekian, yang dicampur jagung itu. Ada harga, ada mutu, ada rasa. Ada beda antara Peminum Kopi dengan Pecinta Kopi."
"Oh ya? Kata mereka di iklan, kopinya dijamin murni seratus persen! Masa 'sih pengiklan berani bohong?" aku masih keukeuh coba-coba membela minuman favoritku selama ini. Minuman wajib sejuta umat yang biasanya disajikan instan, cukup diseduh air panas, aduk-aduk sampe larut, jadilah si hitam manis hangat pelawan rasa bosan atau kantuk.
"Silakan Nona Joy langsung datang ke Kafe Coupee, tuh, di seberang jalan. Saya siap traktir on the house agar Nona bisa buktikan sendiri! Saya tunggu kapan saja, well, maaf, hampir tiba waktu saya bekerja, jadi, sampai jumpa, Nona Joy! Senang berkenalan denganmu. Ciao!" Pemuda aneh bernama Rey itu tak berlama-lama berdiri di dekatku, memberi tabik ala tentara dan berlalu.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H